PAGI itu, seperti biasa, aku mengenakan batik saat melangkah menuju ruang kerja. Kain yang membalut tubuhku tampak sederhana, tapi dalam setiap helai benangnya, tersimpan pesan yang jauh lebih besar: kesadaran yang teranyam erat tentang Bumi yang perlu kita jaga.
Batik, lebih dari sekadar kain warisan budaya, kini memiliki potensi menjadi simbol perjuangan untuk masa depan yang lebih baik, masa depan di mana kita menghormati alam dengan segala kompleksitasnya.
Dalam dunia yang serba cepat dan konsumtif, kita sering kali terjebak pada simbolisme yang dangkal.
Tumbler, misalnya, telah menjadi ikon gaya hidup urban yang sadar lingkungan, namun apakah kesadaran itu sekadar aksesori?
Dalam masyarakat modern, gaya hidup ramah lingkungan sering kali menjadi bagian dari tren sosial, bukan kesadaran mendalam yang berasal dari pemahaman akan pentingnya menjaga ekosistem Bumi.
Sama halnya dengan batik, yang kerap dipakai tanpa memahami filosofi di balik motif-motifnya yang sarat dengan makna alam dan harmoni.
Batik menyimpan pelajaran penting tentang keseimbangan antara manusia dan alam, pelajaran yang kini kita butuhkan lebih dari sebelumnya.
Yuval Noah Harari dalam Sapiens mengingatkan bahwa manusia cenderung menciptakan simbol untuk mengurangi kecemasan eksistensial mereka.
Dalam konteks ini, batik bisa menjadi salah satu simbol yang menenangkan kita akan keberlanjutan, meski tantangan yang kita hadapi jauh lebih besar dari sekadar simbol itu sendiri.
Seperti tumbler yang memberi rasa bahwa kita telah berkontribusi untuk menyelamatkan Bumi dengan mengurangi penggunaan plastik, mengenakan batik bisa saja menjadi bentuk “rasa aman” bahwa kita masih terhubung dengan alam. Namun, apakah cukup sampai di situ?
Pierre Bourdieu, melalui konsep "habitus," mengingatkan kita bahwa kebiasaan sosial, termasuk pilihan konsumsi, sering kali terbentuk tanpa kesadaran mendalam.
Dalam masyarakat urban, penggunaan tumbler atau mengenakan batik bisa menjadi bagian dari habitus yang berkelanjutan secara simbolis, namun tidak selalu secara nyata.
Misalnya, proses produksi batik yang menggunakan pewarna kimia atau energi berlebih justru meninggalkan jejak karbon yang tidak sedikit.
Demikian pula, tumbler, meski menggantikan botol plastik, tetap diproduksi melalui rantai pasokan yang penuh kontradiksi dengan tujuan keberlanjutan.
Jika kita melihat lebih dalam, batik sebenarnya menawarkan solusi yang lebih mendasar bagi masalah lingkungan kita.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya