KOMPAS.com - Padi merupakan salah satu tanaman pangan terpenting di dunia. Lebih dari separuh populasi global bergantung padanya sebagai komponen utama makanan sehari-hari mereka.
Namun siapa sangka, padi bertanggung jawab atas 10 persen emisi metana global, yang dihasilkan oleh bakteri yang terbentuk saat air di sawah yang tergenang mencegah oksigen mencapai tanah.
Asia Tenggara sendiri merupakan penghasil padi terbesar di dunia, yang menghasilkan 33 persen dari total emisi metana di kawasan tersebut.
Mengatasi problem itu, International Rice Research Institute (IRRI) yang berbasis di Los Banos Filipina tersebut berupaya menggunakan ilmu pengetahuan dan teknik pemuliaan untuk menciptakan varietas yang lebih sehat bagi manusia dan lingkungan.
Baca juga:
“Kami tidak hanya berharap bahwa pertanian yang mendorong sistem pangan berbasis padi memiliki dampak yang lebih rendah terhadap lingkungan, tetapi juga kualitas hasil panen yang dihasilkan dari sistem tersebut lebih sehat bagi masyarakat,” kata Yvonne Pinto, direktur jenderal IRRI.
“Kita berada pada tonggak sejarah yang sangat besar dalam transformasi sistem pangan, di mana di masa lalu, kita cukup senang menggunakan banyak pupuk dan bahan kimia perlindungan untuk tanaman tapi tidak benar-benar menyadari bahwa hal itu dapat berdampak pada kesehatan manusia. Hal tersebut tidak dapat diterima lagi," ungkap Pinto lagi dikutip dari Devex, Jumat (4/10/2024).
Dalam mengembangkan padi yang lebih ramah lingkungan, Pinto menjelaskan menggunakan teknologi yang disebut bank gen padi.
Itu merupakan 132.000 aksesi dari sekitar 100 negara yang merupakan materi genetik yang dapat digunakan untuk menciptakan varietas yang tidak hanya adaptif terhadap iklim yang semakin hangat, tetapi juga membantu mengurangi dampak perubahan iklim seperti emisi gas rumah kaca dari tanaman tersebut.
Peneliti juga menyebut memanfaatkan pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan untuk memahami dan mempercepat pengembangan materi baru.
Baca juga:
"Seiring dengan semakin banyaknya pendekatan regeneratif yang kami hasilkan untuk padi, prinsip pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua jenis sistem pertanian," tutur Pinto.
Pinto mengungkapkan pula untuk berinvestasi pada pertanian yang berkelanjutan masih terdapat tantangan menghadang, salah satunya adalah masalah pendanaan.
Dengan era pasca-COVID-19, pendanaan yang tersedia untuk penelitian ilmiah berkurang.
Meski begitu selama pandemi muncul juga kesadaran mengenai kerapuhan rantai pasokan makanan sehingga penting untuk memproduksinya tanpa memengaruhi lingkungan dan mendapatkan makanan yang bergizi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya