KOMPAS.com - Ahli geospasial hukum laut Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta I Made Andi Arsana mengatakan, selama ini banyak produk hukum yang tidak memperhatikan aspek krisis planet, seperti perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Padahal, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan.
Dia menuturkan, salah satu tantangan utama saat ini adalah sering kali penyusunan produk hukum atu regulasi dilakukan oleh institusi resmi yang bersifat monodisiplin.
Baca juga: Antarktika Semakin Menghijau karena Perubahan Iklim
Oleh karena itu, sudah saatnya melibatkan berbagai disiplin ilmu dalam merumuskan hukum yang lebih komprehensif.
Made Ande menuturkan, kerja sama antardisiplin ilmu diperlukan agar hukum yang dihasilkan dapat mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan.
"Jika kita ingin memperbaiki situasi ini, kita harus mulai dari hukum yang lebih peduli terhadap situasi planet," kata dia dikutip dari situs web UGM, Jumat (4/10/2024).
Di samping itu, untuk mengatasi krisis ekologi saat ini diperlukan pergeseran paradigma dalam hukum lingkungan yang berfokus sejumlah prinsip baru.
Baca juga: Dianggap Berhasil Tangani Emisi dan Iklim, RI Raih Penghargaan Green Eurasia 2024
Prinsip-prinsip tersebut adalah seperti integritas ekologis, batasan ekologis, keadilan ekologis, serta aspek pengutamaan ekosistem dan lingkungan.
Dengan mengadopsi paradigma baru ini, hukum lingkungan diharapkan dapat lebih responsif terhadap tantangan global yang terus berkembang dan memberikan solusi yang lebih berkelanjutan dalam menghadapi krisis planet.
Research Professor di Faculty of Law North-West University Afrika Selatan Louis Kotze menyampaikan, agenda reformasi hukum dalam menghadapi krisis planet saat ini menjadi hal krusial yang harus segera dilakukan.
Sebab, hukum lingkungan selama ini masih sebatas menentukan limitasi berupa dampak dari suatu aktivitas manusia kepada lingkungan berdasarkan satu wilayah saja.
Baca juga: Baru Dilantik, DPR Dituntut Perjuangkan UU Kriris Iklim
Namun, hukum lingkungan masih tidak memperhitungkan dampak kumulatif yang akan dihasilkan dalam lingkup sistem Bumi yang lebih luas.
"Diperlukan paradigma baru dalam hukum lingkungan yang tidak hanya mengutamakan kepentingan manusia, tetapi juga mempertimbangkan ekosistem dan prinsip-prinsip seperti integritas ekologis dan keadilan ekologis," kata ucapnya dalam Forum Group Discussion yang bertajuk Legal Challenges to Address Planetary Crisis in the Anthropocene di Ruang Sidang Pimpinan Gedung Pusat UGM, Kamis (3/10/2024).
Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa menegaskan, masyarakat dan pemerintah perlu melakukan rekonstruksi dan paradigma baru terhadap hukum tata lingkungan.
"Seperti yang diketahui, saat ini hukum hanya tegak untuk manusia, tetapi lingkungan masih ditinggalkan," ujarnya.
Baca juga: Perencanaan Kebijakan Harus Pahami Perubahan Iklim Regional
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya