KOMPAS.com - Dampak perubahan iklim telah dirasakan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Seperti pada 2023, peristiwa cuaca ekstrem berdampak di setiap benua yang berpenghuni, hingga menyebabkan banjir besar, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Meski perubahan terjadi di seluruh dunia, pemahaman terperinci tentang dampak regional dari pemanasan global sangat penting untuk melindungi masyarakat dari risiko yang makin meningkat.
"Kami terus meningkatkan pemahaman tentang perubahan iklim, khususnya aspek regionalnya untuk menginformasikan kebijakan yang ditujukan pada adaptasi," kata penulis pertama Matthew Collins dari University of Exeter, Inggris.
Baca juga: Penuaan Populasi, Perubahan Iklim, dan Penguasaan Teknologi
"Meskipun aspek global tetap penting, manusia akan merasakan dampak perubahan iklim di tingkat regional. Di sinilah perencanaan infrastruktur, kesiapsiagaan kejadian ekstrem, dan pengelolaan kesehatan publik serta ketahanan pangan memerlukan ilmu iklim terkini," katanya lagi.
Mengutip Phys, Kamis (3/10/2024) studi ini mengungkap berbagai sinyal perubahan iklim yang muncul di tingkat lokal yang kemungkinan akan terjadi pada abad ini, mulai dari ekuator hingga kutub.
Di wilayah tropis dan subtropis, perubahan dramatis dalam presipitasi diperkirakan akan mengubah intensitas musim hujan secara signifikan, menyebabkan dampak sosial yang substansial.
Misalnya saja, sistem musim yang penting bagi pertanian secara langsung memengaruhi miliaran orang. Sekitar 60 persen populasi dunia sendiri tinggal di wilayah musim hujan belahan bumi utara.
Baca juga: Banyak Kebijakan yang Gagal dalam Mencegah Perubahan Iklim
Seiring dengan menurunnya emisi aerosol dan meningkatnya gas rumah kaca, musim hujan diprediksi akan semakin intens, yang berpotensi mengakibatkan banjir, tanah longsor, dan berkurangnya hasil pertanian.
"Peningkatan curah hujan dan variabilitas curah hujan jalur badai dapat menyebabkan kekeringan di beberapa wilayah dan angin kencang serta banjir di wilayah lain, yang mengakibatkan dampak yang menghancurkan pada pertanian, infrastruktur penting, dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan," kata rekan penulis Vikki Thompson, dari Koninklijk Nederlands Meteorologisch Instituut, Belanda.
Sementara itu di wilayah kutub, proyeksi menunjukkan bahwa sebagian besar curah hujan akan jatuh sebagai hujan daripada salju, yang berpotensi mempercepat pencairan es dan memperparah kenaikan permukaan laut. Transisi ini membahayakan masyarakat pesisir di seluruh dunia.
Baca juga: Pangkas Emisi Metana Jadi Kunci Kurangi Dampak Perubahan Iklim dan Kerusakan Ozon
Studi ini menyerukan upaya terpadu dan interdisipliner untuk menjembatani kesenjangan dalam pemodelan iklim yang berguna untuk mengatasi krisis iklim.
Data beresolusi lebih tinggi, integrasi teknik pembelajaran mesin, dan model baru akan meningkatkan simulasi fenomena iklim yang kompleks di tingkat global dan regional.
Kemajuan tersebut sangat penting untuk menginformasikan kebijakan iklim internasional dan memastikan bahwa langkah-langkah adaptasi lokal.
Seperti misalnya infrastruktur yang tangguh, sistem peringatan dini yang disempurnakan, dan praktik pertanian berkelanjutan berdasarkan pada data yang paling andal dan akurat.
Baca juga: Pemerintah Masih Evaluasi Kebijakan Insentif PLTS Atap
"Informasi regional sangat penting untuk mempersiapkan diri menghadapi peristiwa ekstrem ini dan menerapkan langkah-langkah adaptasi yang efektif dan berdasarkan sains," tambah salah satu penulis Matt Priestley, juga dari University of Exeter.
Tanpa investasi dalam sistem pemodelan dan pemantauan iklim tingkat lanjut, para pembuat kebijakan dan masyarakat lokal hanya akan menghadapi risiko iklim tanpa informasi yang memadai, yang dapat berujung pada upaya yang tidak memadai atau salah arah.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya