KOMPAS.com - Perluasan lahan untuk sawit dikhawatirkan sejumlah pihak dapat mengancam eksistensi lahan pangan.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan, perluasan sawit terus terjadi. Terlebih arah kebijakan ke depan mendukung pengembangan program biodiesel berbasis sawit.
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo Subianto akan berfokus pada swasembada
pangan dan energi. Salah satunya melalui pemanfaatan sawit untuk biodiesel.
Baca juga: Demi Lingkungan, Koalisi Masyarakat Sipil Dorong Moratorium Sawit
"Yang mana hal ini sangat berpotensi besar terjadinya deforestasi dan mengancam
eksistensi lahan sumber pangan," kata Surambo dikutip dari siaran pers, Rabu (6/11/2024).
Dia menambahkan, hasil kajian ekonomi dan nilai ambang batas cap sawit sudah menunjukkan urgensi dilakukan moratorium atau penghentian pemberian izin sawit bagi pelaku usaha sawit.
Dia menyampaikan, penerapan kebijakan moratorium sawit menjadi semakin penting untuk menghentikan ekspansi yang tidak terkendali dan memastikan praktik berkelanjutan.
Selain itu, moratorium sawit juga dapat menciptakan tata kelola yang adil dan transparan demi kesejahteraan masyarakat.
Baca juga: Limbah Sawit Lebih Ramah Lingkungan Jadi Bahan Baku Bioetanol
Surambo mendesak adanya urgensi penerapan kebijakan penghentian pemberian izin sawit. Di samping itu, dia juga mendorong peremajaan atau replanting sawit yang sudah ada.
"Bahwa penghentian pemberian izin sawit plus replanting dapat berdampak positif bagi
ekonomi. Luas sawit saat ini juga sudah mendekati ambang batas," jelas Surambo.
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda melihat, kebijakan moratorium sawit akan membawa dampak ekonomi positif yang signifikan, terutama bila digabungkan dengan program replanting.
Dia menyampaikan, dampak implementasi kebijakan moratorium sawit dan replanting mampu output ekonomi Rp 28,9 triliun, tambahan produk domestik bruto (PDB) Rp28,2 triliun, pendapatan masyarakat Rp 28 triliun, surplus usaha Rp16,6 triliun, penerimaan pajak bersih Rp 165 miliar, ekspor Rp 782 miliar, pendapatan tenaga kerja Rp 13,5 triliun, dan penyerapan tenaga kerja 761.000 orang.
Baca juga: Petani Sawit Perlu Diperhatikan dalam Komersialisasi Biodiesel
"Angka ini sangat signifikan dibandingkan tanpa moratorium yang cenderung negatif di semua aspek. Sehingga urgensi penerapan kebijakan moratorium sawit sesuai dengan manfaat ekonominya," jelas Nailul Huda.
Senior Campaigner Kaoem Telapak Olvy Tumbelaka menilai Indonesia perlu memberlakukan kembali moratorium perizinan baru kelapa sawit yang lebih kuat dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 karena tiga alasan.
Pertama, melindungi hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah kritis seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua dari deforestasi.
Kedua, memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan pasar internasional, terutama regulasi anti-deforestasi Uni Eropa, Inggris, dan China.
Ketiga, untuk melindungi kesejahteraan petani kecil, masyarakat lokal dan adat melalui tata kelola perkebunan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Baca juga: GAPKI Sebut Ekspor Sawit Indonesia ke Eropa Sudah Penuhi Syarat Berkelanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya