Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/11/2024, 13:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Pelaku usaha meminta adanya regulasi harga minyak jelantah untuk kebutuhan pengolahan bioenergi dalam negeri.

Direktur PT Bali Hijau Tri Hermawan mengatakan, saat ini ada kesenjangan harga untuk minyak jelantah.

Minyak jelantah yang diekspor memiliki harga yang lebih tinggi bila dibandingkan diserap untuk kebutuhan pengolahan bioenergi dalam negeri.

Baca juga: Potensi Minyak Jelantah Hampir 1 Juta Kilo Liter, Bisa Jadi Biofuel

"Sehingga perlu dicari jalan tengahnya. Potensi penggunaan minyak jelantah bisa jalan untuk keduanya, baik untuk ekspor atu kebutuhan bioenergi," kata Tri dalam diseminasi studi yang digelar Traction Energy Asia yang diikuti secara daring, Rabu (6/11/2024).

Tri menuturkan, selama ini belum ada regulasi yang mengatur harga minyak jelantah. Sehingga harga minyak jelantah juga cenderung berfluktuasi.

Di samping itu, bergantung sepenuhnya kepada minyak jelantah untuk feedstock alias bahan baku bioenergi cukup riskan.

Pasalnya, minyak jelantah saat ini masih dianggap sebagai limbah, bukan komoditas. Sehingga ketersediannya tidak bisa dipastikan dengan baik.

Baca juga: Pemerintah Susun Peta Jalan untuk Hilirisasi Minyak Jelantah

"Agar potensi minyak jelantah bisa digunakan sebaik-baiknya, butuh kerja sama semua pemangku kepentingan. Selain itu butuh regulasi yang jelas," papar Tri.

Sementara itu, hasil studi Traction Energy Asia mengungkapkan, potensi minyak jelantah yang bisa dikumpulkan di Indonesia sangat besar.

Potensi tersebut hampir 1 juta kilo liter per tahun atau lebih tepatnya 933.200 kilo liter per tahun.

Besarnya potensi minyak jelantah tersebut bisa dijadikan bahan baku bahan bakar nabati atau biofuel yang mendorong ekonomi sirkular.

Baca juga: Pemerintah Diminta Tetapkan Regulasi Minyak Jelantah, Sebelum Kegagalan Pasar

Dari potensi tersebut, 714.296,6 kilo liter berasal dari industri pengolahan makanan. Sedangkan sisanya, 218.871,7 berasal dari hotel, restoran, dan kafe (horeka).

Manajer Program Traction Energy Asia Refina Muthia Sundari mengatakan, besarnya potensi tersebut perlu dimanfaatkan dengan menguatkan pengumpulannya.

Metode pengumpulannya bisa dilakukan melalui dinas lingkungan hidup daerah setempat, pengepul atau swasta, lembaga non-profit, hingga karang taruna.

Dia menuturkan, Traction Energy Asia menyarankan potensi minyak jelantah yang dihasilkan oleh horeka dan pengolahan makanan dapat memanfaatkan skema yang ada saat ini.

"Hanya saja, (model pengumpulannya) dapat diatur oleh dinas lingkungan hidup setempat, dan kemudian diserahkan kepada jaringan pengepul, lalu kami asumsikan itu akan diserahkan kepada Kilang Pertamina untuk diproduksi menjadi biofuel," terang Refina.

Baca juga: BRIN: Olah Minyak Jelantah Jadi Bahan Bakar Pesawat Tergantung Harga Avtur

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau