KOMPAS.com - Ketergantungan akan industri ekstraktif dinilai menjadi akar ketimpangan di Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan, struktur ekonomi Indonesia tidak mengalami banyak perubahan sejak kolonialisme.
Bhima menuturkan, sampai saat ini Indonesia masih tergantung pada industri ekstraktif. Dalam skema ini, yang mendapat keuntungan paling besar bukanlah masyarakat, melainkan korporasi.
Baca juga: Studi Ketimpangan Celios: Harta 50 Orang Terkaya RI Setara 50 Juta Penduduk
Booming komoditas industri ekstraktif seperti sawit, batu bara, hingga nikel hanya dinikmati segelintir orang saja.
"Gagal move on (beranjak) dari industri ekstraktif membuat Indonesia tidak bisa mengatasi ketimpangan ekonomi," ujar Bhima dalam diskusi yang diikuti di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (18/11/2024).
Riset terbaru Celios juga mengungkapkan adanya ketimpangan yang besar antara penduduk terkaya dengan mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam studi berjudul Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Miskin tersebut, Celios menemukan kekayaan 50 hartawan terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia.
Pajak Kekayaan 50 triliuner teratas di RI bahkan setara dengan 2,45 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia 2024.
Baca juga: Indeks Ketimpangan Gender Indonesia Konsisten Turun dalam 5 Tahun
Di satu sisi, ketimpangan atau rasio gini yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai kurang valid dalam menggambarkan ketimpangan yang sebetulnya.
Sebab, rasio gini dari BPS hanya menghitung konsumsi rumah tangga sebagai dasar penghitungannya, bukan pendapatan dan aset.
Bhima juga menuturkan, hilirisasi yang selalu digaungkan pemerintah juga tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Hal tersebut membuat gagalnya penyerapan tenaga kerja formal dan menuju informalisasi alias banyak yang bekerja di sektor informal. Kondisi ini bakal semakin memperparah ketimpangan.
"Kita seolah-olah menuju nilai tambah tertentu, padahal tidak mendapat apa-apa," papar Bhima.
Baca juga: Ketimpangan Pembangunan Terus Terjadi, Perempuan Masih Tertinggal
Dosen Fisipol UGM Muchtar Habibi menuturkan, salah satu penyebab ketimpangan yang parah di Indonesia adalah konsentrasi penguasaan lahan.
Pasalnya, mayoritas konsesi hutan di Indonesia dipegang oleh korporasi. Padahal jumlah korporasi dan pemiliknya tidaklah banyak.
"Aspek ketimpangan lain yakni ketimpangan di antara usaha tani rakyat," kata Muchtar.
Muchtar menuturkan, distribusi lahan pertanian juga tidak merata. Hanya segelintir petani saja yang memiliki lahan yang sangat luas.
Pasalnya, pada 2013, 87 persen petani di Indonesia adalah petani gurem alias hanya memiliki lahan di bawah 1 hektare.
Baca juga: Peneliti BRIN Sebut Aturan Agraria Semakin Rumit, Rentan Ketimpangan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya