KETUA delegasi Indonesia di COP 29 sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim, Hashim Djojohadikusumo di Azerbaijan, Senin (11/11/2024), menyebut sebanyak 12,7 juta hektare hutan di Indonesia yang telah rusak akan direboisasi dalam rangka mengurangi emisi karbon di Indonesia. Pernyataan yang mengejutkan sekaligus mencengangkan.
Patut diapresiasi kemauan kuat pemerintah untuk mengembalikan kawasan hutan yang telah terdeforestasi dan terdegrasi menjadi hutan kembali dengan tutupan hutan (forest recovery) sempurna.
Namun, kemauan kuat tidak cukup. Pasalnya, menjadikan kawasan hutan kembali membutuhkan dana, SDM terampil, dan waktu yang sangat lama.
Jangan membayangkan dan membandingkan keberhasilan reboisasi di Semboja Lestari (satu jam perjalan dari Balikpapan) yang luasnya hanya 1.000 hektare. Kenapa?
Lokasi yang dicontohkan tersebut merupakan hutan produksi yang aksesibilitas tinggi karena topografi relatif datar, mudah dijangkau, mudah pula ditanami, dipelihara, dirawat, dan diawasi. Dengan demikian, tingkat keberhasilan tumbuh tanaman sampai menjadi pohon dewasa juga tinggi.
Dengan jarak tanam 2 x 3 m, luas 1000 ha, kebutuhan bibit yang diperlukan hanya 1.650.000 bibit tanaman ditambah sulaman tahun berjalan 10 persen (165.000 bibit tanaman).
Tidak bisa disamakan dengan reboisasi seluas 12,7 juta ha yang lokasinya tersebar dengan topografi bervariasi. Tidak hanya datar, tetapi juga perbukitan dan pegunungan dengan aksesibilitasnya rendah.
Kebutuhan bibit tanaman pun tidak main-main. Dengan luas 12,7 juta ha dibutuhkan sebesar 20.955.000.000 bibit tanaman. Jika ditambah 10 persen untuk sulaman, maka butuh 2.095.500.000 bibit tanaman.
Mari kita ulas tingkat kesulitan yang dihadapi mereboisasi 12,7 juta ha, dan syarat-syarat apa saja untuk menjamin tingkat keberhasilan, serta merefleksi ketidakberhasilanya kegiatan reboisasi (dikenal juga dengan istilah rehabilitasi hutan) yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini.
Reboisasi atau reforestasi yang selama ini dikenal sebagai program rehabilitasi hutan telah dilakukan sejak Orde Baru hingga terakhir pemerintahan Jokowi (1976 – 2024).
Selama era tersebut, reboisasi diklaim telah dilakukan pada lahan dengan luas yang lebih besar dari target pemerintahan saat ini.
Namun, perlu ada evaluasi lebih dahulu, berapa luas kumulatif kawasan hutan yang telah direboisasi hingga saat ini dan berapa luas kawasan hutan yang berhasil menjadi tutupan hutan (forest covery) kembali?
Pasalnya, hingga kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sekarang kembali menjadi Kementerian Kehutanan, belum sekalipun merilis data keberhasilan reboisasi selama ini.
Masalah deforestasi dan reboisasi/reforestasi bagaikan dua sisi mata uang yang tidak ada habisnya bila diulas/dibahas tanpa berpegang pada data yang sama dan sahih (valid).
Mengacu pada data dalam buku “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit Desember tahun 2020, KLHK menyatakan luas hutan (bentang darat) Indonesia secara hukum (de jure) 120,5 juta ha.
Luas ini terdiri dari hutan konservasi 27,3 juta ha, hutan lindung 29,6 juta ha, hutan produksi 63,4 juta ha.
Dari luas 120,5 juta ha itu, yang masih punya tutupan hutan seluas 97,1 juta ha. Sedangkan yang tidak punya tutupan hutan alias lahan terbuka, semak belukar dan lahan terlantar seluas 33,4 juta ha, tersebar pada hutan konservasi 4,5 juta ha, hutan lindung 5,6 juta ha, dan hutan produksi 23,3 juta ha.
Kesalahan reboisasi yang akut dan laten selama ini adalah pertama, prioritas sasaran lokasi reboisasi tidak jelas (hutan konservasi, hutan lindung atau hutan produksi).
Kegiatan reboisasi lebih banyak dilakukan di hutan produksi yang aksesnya lebih mudah dijangkau. Padahal bencana hidrometeorologi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh rusaknya daerah hulu DAS yang pada umumnya adalah kawasan lindung (hutan konservasi dan hutan lindung).
Kedua, kegiatan reboisasi masih dianggap sebagai sistem keproyekan di mana tanaman hutan hanya dipelihara dan dirawat hingga umur tiga tahun. Selebihnya diserahkan kepada mekanisme alam sampai tanaman menjadi pohon dewasa.
Keberhasilan luas reboisasi selama ini dihitung berdasarkan jumlah bibit yang ditanam, bukan berapa luas tanaman menjadi pohon dewasa minimal umur 15 tahun (tanaman sudah dianggap menjadi pohon dewasa).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya