KOMPAS.com - Visi Presiden Prabowo Subianto mencapai nol bersih pada 2050 dengan menghentikan seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan membangun 75 gigawatt (GW) energi terbarukan dinilai kurang ambisius.
Pasalnya, tambahan 75 GW tersebut belum cukup untuk menutup selisih dari rencana penghentian pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) Katherine Hasan menuturkan, 62 persen pasokan listrik Indonesia, baik yang tersambung dengan jaringan PLN (on grid) maupun berdiri sendiri (off grid), berasal dari batu bara.
Baca juga: Sistem Penyimpanan Jadi Kunci Ketahanan Energi Terbarukan di Asia Tenggara
Karenanya, rencana penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada 2040 merupakan terobosan besar.
Untuk itu, Katherine menyampaikan Indonesia seharusnya menetapkan target penerapan energi ramah lingkungan yang lebih ambisius.
Dia berujar, target 75 GW energi terbarukan dan 5 GW nuklir pada 2040 yang hanya akan menghasilkan listrik bebas fosil sekitar 35 persen dari proyeksi kebutuhan listrik nasional.
"Ini berarti targetnya harus ditingkatkan lebih dari dua kali lipat agar visi Presiden Prabowo dapat menjadi kenyataan," kata Katherine, dikutirp dari siaran pers, Rabu (27/11/2024).
Baca juga: Tantangan Produksi Baterai untuk Meningkatkan Energi Terbarukan
Target penambahan energi terbarukan di Indonesia setidaknya harus sebesar yang tercantum dalam dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).
Dokumen tersebut membidik tambahan 210 GW pembangkit listrik non-fosil pada 2040 dan mencapai 80 persen pangsa energi terbarukan pada periode yang sama.
Meskipun, jika Presiden Prabowo serius ingin mematikan seluruh pembangkit listrik berbasis energi fosil, penambahan energi terbarukan harus lebih besar lagi.
"Tambahan kapasitas energi terbarukan yang dibutuhkan sekitar 25 persem lebih banyak dari JETP di 2040, kalau semua PLTU dan pembangkit berbahan bakar fosil dipensiunkan," ucap Katherine.
Hal ini penting lantaran mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan permintaan listrik, penerapan target 75 GW juga berarti masih memberi ruang penambahan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil.
Baca juga: Bukan Sekadar Kembangkan Energi Terbarukan, Transisi Juga Perlu Pensiunkan PLTU
Perkiraan CREA, jika penambahan kapasitas energi terbarukan hanya 75 GW,
penambahan pembangkit listrik bertenaga fosil pada tahun 2040 akan meningkat hingga 160 persen lebih tinggi dari tahun 2022.
Analis Utama CREA Lauri Myllyvirta menekankan, rencana yang disampaikan Presiden Prabowo harus diselaraskan dengan peta jalan investasi pembangkit listrik yang tertera dalam dokumen CIPP JETP.
"Kami juga meminta agar pemerintah terus berupaya menghilangkan hambatan yang selama ini menghambat lepas landasnya sumber daya energi bersih berbiaya rendah di Indonesia, untuk memastikan bahwa tujuan yang ditetapkan dalam rencana tersebut sepenuhnya terwujud dalam jangka waktu yang diusulkan," tutur Lauri.
Penyesuaian target energi terbarukan agar selaras dengan visi penghapusan bahan bakar fosil pada 2040 merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menarik investasi.
Baca juga: Energi Terbarukan di Pulau Bando Bisa Dicontoh Kawasan Konservasi Lain
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya