Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan Produksi Baterai untuk Meningkatkan Energi Terbarukan

Kompas.com - 15/11/2024, 19:40 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perhelatan COP29 di Azerbaijan mendorong berbagai negara di dunia untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan energi global enam kali lipat menjadi 1.500 gigawatt pada tahun 2030 dalam upaya untuk meningkatkan energi terbarukan.

Badan Energi Internasional (IEA) sendiri sebelumnya mengungkapkan menambah tiga kali kapasitas energi terbarukan dan menggandakan langkah-langkah efisiensi energi mampu mengurangi emisi pemanasan planet hingga 10 miliar metrik ton pada akhir dekade ini.

Mengutip Eco Business, Jumat (15/11/2025) penyimpanan daya sangat penting untuk memperluas energi terbarukan karena dapat memasok listrik ke konsumen saat matahari tidak bersinar atau angin tidak bertiup. Hingga saat ini, baterai lithium-ion menjadi solusi penyimpanan energi yang paling ekonomis.

Tetapi sejumlah teknologi lain sedang dikembangkan, seperti udara bertekanan, magnet superkonduktor, penyimpanan pompa bawah tanah, dan penyimpanan hidrogen.

Baca juga: RI dan Asean Diingatkan untuk Siapkan Infrastruktur Daur Ulang Baterai Mobil Listrik

Baterai diperkirakan akan menyumbang 90 persen dari peningkatan penyimpanan energi global pada tahun 2030. Kendati demikian jumlah itu tidak akan memenuhi kebutuhan global, peningkatan produksinya pun juga masih menghadapi tantangan.

Masalah Produksi Baterai

Pembuatan baterai untuk penyimpanan memerlukan mineral langka seperti litium, nikel, dan kobalt. Menurut IEA, permintaan logam ini dapat meningkat empat kali lipat pada tahun 2040 jika sektor energi global mencapai emisi CO2 nol bersih pada tahun 2050.

Namun di banyak negara, penambangan mineral tersebut telah dikaitkan dengan pencemaran lingkungan dan pelanggaran ketenagakerjaan.

Bolivia, Argentina, dan Chili menyimpan lebih dari separuh litium dunia, tetapi aktivitas penambangan telah memicu protes yang menuntut manfaat yang lebih besar bagi masyarakat lokal.

Afrika memiliki 30 persen cadangan mineral dunia, yang banyak di antaranya dibutuhkan untuk transisi hijau, termasuk kobalt di Republik Demokratik Kongo. Tetapi industri tersebut menghadapi tuduhan pelanggaran.

Penyalahgunaan juga telah dilaporkan dalam penambangan mineral di Indonesia dan Filipina yang merupakan dua produsen nikel teratas dunia.

Baca juga: 10 Negara dengan Kapasitas Baterai Paling Besar di Dunia, China Nomor Wahid

Salah satu opsi yang diusulkan untuk meningkatkan penyimpanan energi adalah dengan mendaur ulang, salah satunya daur ulang baterai kendaraan listrik (EV).

Secara global, setidaknya ada 80 perusahaan yang terlibat dalam daur ulang EV dengan lebih dari 50 perusahaan rintisan yang mendapatkan pendanaan setidaknya 2,7 miliar dollar AS dalam investasi dalam beberapa tahun terakhir.

Jika infrastruktur yang tepat tersedia, jumlah baterai EV yang tersedia untuk didaur ulang dapat memenuhi penyimpanan jaringan jangka pendek secara global paling cepat pada 2030.

Namun memastikan pengemudi berpartisipasi dalam program daur ulang merupakan tantangan dan lebih banyak orang mempertanyakan mobil mereka setelah kapasitas baterai turun di bawah 80-85 persen.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau