Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arif Darmawan
Dosen

Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED

Peradaban Ekologis China

Kompas.com - 03/12/2024, 16:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH krisis iklim yang semakin mengancam kelangsungan peradaban, konsep Peradaban Ekologis yang diinisiasi China muncul sebagai paradigma transformatif, mempertanyakan kembali hubungan antara manusia, ekonomi, dan lingkungan.

Dengan populasi sebesar 1,4 miliar, China berupaya menggeser arah pembangunannya, bukan sekadar dengan retorika hijau, melainkan melalui upaya sistematis untuk merombak filosofi pembangunan yang selama ini didominasi logika pertumbuhan ekonomi linear.

Peradaban Ekologis lahir dari kesadaran mendalam bahwa model pembangunan konvensional tidak lagi berkelanjutan di era di mana aktivitas manusia sangat memengaruhi lingkungan secara global saat ini.

Konsep ini tidak dapat dipandang sebagai sekadar perpanjangan dari pendekatan konservasi lingkungan tradisional. Lebih jauh dari itu, Peradaban Ekologis merepresentasikan perubahan besar dalam cara berpikir dan memahami pembangunan.

Konsep ini memosisikan ekosistem sebagai aktor kunci, bukan hanya objek eksploitasi, serta membangun kerangka di mana kepentingan lingkungan menjadi inti dari setiap proses pengambilan keputusan politik dan ekonomi.

Transformasi ini ditunjukkan oleh China melalui investasi besar-besaran dalam proyek energi bersih.

Program Great Green Wall, misalnya, menjadi simbol nyata dari komitmen China untuk memperbaiki ekosistem, dengan rehabilitasi hutan yang masif guna mengurangi dampak perubahan iklim.

Selain itu, China juga menerapkan proyek di Datong, Provonsi Shanxi, yang berfokus pada pengembangan energi bersih melalui pembangkit listrik tenaga surya skala besar, serta program Forest Cities yang bertujuan menciptakan kota-kota dengan ruang hijau luas dan infrastruktur berkelanjutan.

Komitmen ini bukan hanya retorika; ia diwujudkan melalui upaya konkret dalam merestorasi ekosistem yang telah terdegradasi.

Inovasi Teknologis: Membongkar Paradoks Pembangunan

China telah berinvestasi besar dalam inovasi teknologi hijau, termasuk pengembangan kereta api berkecepatan tinggi yang rendah karbon dan inovasi penangkapan karbon, yang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dan kepedulian lingkungan dapat berjalan beriringan.

Proyek tenaga surya terbesar di dunia yang dikembangkan China (Gonghe Talatan Solar Park, Qinghai) adalah bukti bahwa transisi energi bukanlah utopia yang tidak mungkin dicapai, melainkan realitas yang dapat diwujudkan.

Namun, perjalanan ini tidaklah tanpa tantangan. Ketergantungan China pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batu bara masih sangat tinggi dan menghadirkan paradoks yang nyata.

Batu bara tetap menjadi sumber energi utama di China karena ketersediaannya yang melimpah dan harga relatif murah.

Hal ini menyebabkan dilema antara keinginan untuk beralih ke energi bersih dan kenyataan akan kebutuhan energi yang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Meskipun China telah memimpin dalam investasi energi terbarukan, sekitar 56 persen dari pembangkit listrik mereka masih bergantung pada batu bara.

Ketergantungan ini menimbulkan pertanyaan, apakah transformasi ini benar-benar substansial atau hanya sekadar greenwashing, yaitu upaya untuk terlihat peduli lingkungan melalui kampanye hijau palsu tanpa aksi nyata yang signifikan, guna meningkatkan reputasi internasional.

Pendekatan Peradaban Ekologis memiliki sinergi yang kuat dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang diinisiasi PBB.

SDGs mencakup berbagai target, seperti penghapusan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, dan aksi iklim, yang semuanya selaras dengan pendekatan Peradaban Ekologis yang bersifat holistik dan inklusif.

Di satu sisi, melalui inovasi teknologi hijau, China berhasil mengurangi emisi karbon dan menciptakan ekosistem ekonomi baru yang berkelanjutan.

Contohnya, proyek energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin telah memberikan kontribusi besar dalam menciptakan jutaan lapangan kerja hijau, memperkuat pertumbuhan ekonomi inklusif, dan memberikan solusi nyata bagi tantangan sosial-ekonomi.

Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi tidak harus saling bertentangan, melainkan dapat saling mendukung untuk menciptakan pembangunan yang adil dan sejahtera.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau