Namun, di sisi lain, ketergantungan China pada bahan bakar fosil seperti batu bara masih menjadi tantangan besar.
Ketergantungan ini menunjukkan adanya kontradiksi signifikan dalam upaya mewujudkan Peradaban Ekologis yang sepenuhnya selaras dengan tujuan SDGs.
China masih menghadapi dilema antara mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan.
Selain menciptakan lapangan kerja, investasi ini juga mendorong diversifikasi ekonomi, mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor yang tidak berkelanjutan seperti industri berbasis bahan bakar fosil.
Hal ini membuktikan bahwa keberlanjutan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi bukanlah dikotomi yang saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi.
Penerapan teknologi energi terbarukan juga memberikan manfaat tambahan berupa peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengurangan polusi udara dan memperkuat ketahanan energi nasional, sehingga negara menjadi kurang rentan terhadap fluktuasi harga energi global.
Meskipun demikian, transformasi ini tidak bebas dari kritik. Pemindahan paksa komunitas lokal untuk proyek infrastruktur hijau, potensi manipulasi data lingkungan, serta dampak sosial-ekonomi pada komunitas tradisional merupakan area-area kritis yang memerlukan evaluasi dan perhatian lebih lanjut.
Sebagai contoh, proyek Great Green Wall di China telah menyebabkan pemindahan paksa banyak komunitas yang tinggal di daerah proyek tersebut, sering kali tanpa kompensasi yang memadai atau keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Praktik-praktik seperti ini menciptakan dilema etis dalam penerapan Peradaban Ekologis, yang sering kali mengorbankan hak-hak komunitas lokal atas nama keberlanjutan.
Selain itu, proyek Forest Cities yang bertujuan menciptakan kota dengan ruang hijau luas, juga mendapatkan kritik karena tidak mempertimbangkan dampak sosial dari kenaikan harga properti, yang membuat banyak penduduk lokal harus pindah karena tidak mampu lagi tinggal di daerah tersebut.
Para akademisi hubungan internasional juga melihat Peradaban Ekologis sebagai instrumen soft power China. Setiap proyek hijau yang diinisiasi mengandung narasi kekuasaan yang kompleks, melampaui logika murni lingkungan, yang berarti proyek-proyek hijau ini tidak hanya tentang memperbaiki atau melestarikan lingkungan.
Di baliknya, ada tujuan yang lebih kompleks seperti memperkuat posisi geopolitik China dan memperluas pengaruh global mereka.
Contohnya, proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang menggabungkan pembangunan infrastruktur hijau dengan tujuan ekspansi ekonomi, telah menyebabkan beberapa negara berkembang terjebak dalam utang kepada China, meningkatkan ketergantungan ekonomi dan politik mereka.
Ini menunjukkan bahwa upaya pelestarian lingkungan juga terintegrasi dengan agenda politik dan ekonomi yang lebih luas, dan menjadi medan pertarungan pengetahuan di mana konsep kedaulatan nasional dan tanggung jawab global dipertaruhkan.
Dalam konteks hubungan bilateral, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan Peradaban Ekologis China sebagai inspirasi sekaligus titik kolaborasi.
Sebagai sesama negara di Kawasan Global South dengan tantangan ekologi yang kompleks, ada beberapa potensi sinergi yang dapat dioptimalkan.
Bagi Indonesia, pendekatan ini dapat menjadi jalan untuk memperkuat hubungan dengan China, tidak hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam transfer teknologi dan peningkatan kapasitas di sektor hijau.
Kolaborasi strategis antara Indonesia dan China dalam transfer teknologi hijau, pertukaran pengetahuan, dan inisiatif bersama dalam mencapai SDGs sangat potensial untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Misalnya, proyek infrastruktur hijau seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan pembangkit energi angin dapat menjadi titik masuk untuk membangun relasi yang saling menguntungkan.
Selain itu, transfer teknologi dari China terkait energi bersih dan sistem pertanian berkelanjutan bisa menjadi solusi nyata dalam mengatasi tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan di Indonesia.
Namun, tantangan tetap ada. Mengingat posisi China sebagai kekuatan ekonomi besar, Indonesia perlu berhati-hati dalam membangun relasi agar tidak terjebak dalam ketergantungan ekonomi yang tidak seimbang.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya