DI TENGAH krisis iklim yang semakin mengancam kelangsungan peradaban, konsep Peradaban Ekologis yang diinisiasi China muncul sebagai paradigma transformatif, mempertanyakan kembali hubungan antara manusia, ekonomi, dan lingkungan.
Dengan populasi sebesar 1,4 miliar, China berupaya menggeser arah pembangunannya, bukan sekadar dengan retorika hijau, melainkan melalui upaya sistematis untuk merombak filosofi pembangunan yang selama ini didominasi logika pertumbuhan ekonomi linear.
Peradaban Ekologis lahir dari kesadaran mendalam bahwa model pembangunan konvensional tidak lagi berkelanjutan di era di mana aktivitas manusia sangat memengaruhi lingkungan secara global saat ini.
Konsep ini tidak dapat dipandang sebagai sekadar perpanjangan dari pendekatan konservasi lingkungan tradisional. Lebih jauh dari itu, Peradaban Ekologis merepresentasikan perubahan besar dalam cara berpikir dan memahami pembangunan.
Konsep ini memosisikan ekosistem sebagai aktor kunci, bukan hanya objek eksploitasi, serta membangun kerangka di mana kepentingan lingkungan menjadi inti dari setiap proses pengambilan keputusan politik dan ekonomi.
Transformasi ini ditunjukkan oleh China melalui investasi besar-besaran dalam proyek energi bersih.
Program Great Green Wall, misalnya, menjadi simbol nyata dari komitmen China untuk memperbaiki ekosistem, dengan rehabilitasi hutan yang masif guna mengurangi dampak perubahan iklim.
Selain itu, China juga menerapkan proyek di Datong, Provonsi Shanxi, yang berfokus pada pengembangan energi bersih melalui pembangkit listrik tenaga surya skala besar, serta program Forest Cities yang bertujuan menciptakan kota-kota dengan ruang hijau luas dan infrastruktur berkelanjutan.
Komitmen ini bukan hanya retorika; ia diwujudkan melalui upaya konkret dalam merestorasi ekosistem yang telah terdegradasi.
China telah berinvestasi besar dalam inovasi teknologi hijau, termasuk pengembangan kereta api berkecepatan tinggi yang rendah karbon dan inovasi penangkapan karbon, yang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dan kepedulian lingkungan dapat berjalan beriringan.
Proyek tenaga surya terbesar di dunia yang dikembangkan China (Gonghe Talatan Solar Park, Qinghai) adalah bukti bahwa transisi energi bukanlah utopia yang tidak mungkin dicapai, melainkan realitas yang dapat diwujudkan.
Namun, perjalanan ini tidaklah tanpa tantangan. Ketergantungan China pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batu bara masih sangat tinggi dan menghadirkan paradoks yang nyata.
Batu bara tetap menjadi sumber energi utama di China karena ketersediaannya yang melimpah dan harga relatif murah.
Hal ini menyebabkan dilema antara keinginan untuk beralih ke energi bersih dan kenyataan akan kebutuhan energi yang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Meskipun China telah memimpin dalam investasi energi terbarukan, sekitar 56 persen dari pembangkit listrik mereka masih bergantung pada batu bara.
Ketergantungan ini menimbulkan pertanyaan, apakah transformasi ini benar-benar substansial atau hanya sekadar greenwashing, yaitu upaya untuk terlihat peduli lingkungan melalui kampanye hijau palsu tanpa aksi nyata yang signifikan, guna meningkatkan reputasi internasional.
Pendekatan Peradaban Ekologis memiliki sinergi yang kuat dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang diinisiasi PBB.
SDGs mencakup berbagai target, seperti penghapusan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, dan aksi iklim, yang semuanya selaras dengan pendekatan Peradaban Ekologis yang bersifat holistik dan inklusif.
Di satu sisi, melalui inovasi teknologi hijau, China berhasil mengurangi emisi karbon dan menciptakan ekosistem ekonomi baru yang berkelanjutan.
Contohnya, proyek energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin telah memberikan kontribusi besar dalam menciptakan jutaan lapangan kerja hijau, memperkuat pertumbuhan ekonomi inklusif, dan memberikan solusi nyata bagi tantangan sosial-ekonomi.
Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi tidak harus saling bertentangan, melainkan dapat saling mendukung untuk menciptakan pembangunan yang adil dan sejahtera.
Namun, di sisi lain, ketergantungan China pada bahan bakar fosil seperti batu bara masih menjadi tantangan besar.
Ketergantungan ini menunjukkan adanya kontradiksi signifikan dalam upaya mewujudkan Peradaban Ekologis yang sepenuhnya selaras dengan tujuan SDGs.
China masih menghadapi dilema antara mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan.
Selain menciptakan lapangan kerja, investasi ini juga mendorong diversifikasi ekonomi, mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor yang tidak berkelanjutan seperti industri berbasis bahan bakar fosil.
Hal ini membuktikan bahwa keberlanjutan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi bukanlah dikotomi yang saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi.
Penerapan teknologi energi terbarukan juga memberikan manfaat tambahan berupa peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengurangan polusi udara dan memperkuat ketahanan energi nasional, sehingga negara menjadi kurang rentan terhadap fluktuasi harga energi global.
Meskipun demikian, transformasi ini tidak bebas dari kritik. Pemindahan paksa komunitas lokal untuk proyek infrastruktur hijau, potensi manipulasi data lingkungan, serta dampak sosial-ekonomi pada komunitas tradisional merupakan area-area kritis yang memerlukan evaluasi dan perhatian lebih lanjut.
Sebagai contoh, proyek Great Green Wall di China telah menyebabkan pemindahan paksa banyak komunitas yang tinggal di daerah proyek tersebut, sering kali tanpa kompensasi yang memadai atau keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Praktik-praktik seperti ini menciptakan dilema etis dalam penerapan Peradaban Ekologis, yang sering kali mengorbankan hak-hak komunitas lokal atas nama keberlanjutan.
Selain itu, proyek Forest Cities yang bertujuan menciptakan kota dengan ruang hijau luas, juga mendapatkan kritik karena tidak mempertimbangkan dampak sosial dari kenaikan harga properti, yang membuat banyak penduduk lokal harus pindah karena tidak mampu lagi tinggal di daerah tersebut.
Para akademisi hubungan internasional juga melihat Peradaban Ekologis sebagai instrumen soft power China. Setiap proyek hijau yang diinisiasi mengandung narasi kekuasaan yang kompleks, melampaui logika murni lingkungan, yang berarti proyek-proyek hijau ini tidak hanya tentang memperbaiki atau melestarikan lingkungan.
Di baliknya, ada tujuan yang lebih kompleks seperti memperkuat posisi geopolitik China dan memperluas pengaruh global mereka.
Contohnya, proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang menggabungkan pembangunan infrastruktur hijau dengan tujuan ekspansi ekonomi, telah menyebabkan beberapa negara berkembang terjebak dalam utang kepada China, meningkatkan ketergantungan ekonomi dan politik mereka.
Ini menunjukkan bahwa upaya pelestarian lingkungan juga terintegrasi dengan agenda politik dan ekonomi yang lebih luas, dan menjadi medan pertarungan pengetahuan di mana konsep kedaulatan nasional dan tanggung jawab global dipertaruhkan.
Dalam konteks hubungan bilateral, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan Peradaban Ekologis China sebagai inspirasi sekaligus titik kolaborasi.
Sebagai sesama negara di Kawasan Global South dengan tantangan ekologi yang kompleks, ada beberapa potensi sinergi yang dapat dioptimalkan.
Bagi Indonesia, pendekatan ini dapat menjadi jalan untuk memperkuat hubungan dengan China, tidak hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam transfer teknologi dan peningkatan kapasitas di sektor hijau.
Kolaborasi strategis antara Indonesia dan China dalam transfer teknologi hijau, pertukaran pengetahuan, dan inisiatif bersama dalam mencapai SDGs sangat potensial untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Misalnya, proyek infrastruktur hijau seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan pembangkit energi angin dapat menjadi titik masuk untuk membangun relasi yang saling menguntungkan.
Selain itu, transfer teknologi dari China terkait energi bersih dan sistem pertanian berkelanjutan bisa menjadi solusi nyata dalam mengatasi tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan di Indonesia.
Namun, tantangan tetap ada. Mengingat posisi China sebagai kekuatan ekonomi besar, Indonesia perlu berhati-hati dalam membangun relasi agar tidak terjebak dalam ketergantungan ekonomi yang tidak seimbang.
Dalam hal ini, perlu adanya regulasi dan kebijakan yang memastikan transfer teknologi dan investasi dari China dilakukan secara transparan, mengedepankan keberlanjutan lingkungan, dan menghormati hak-hak komunitas lokal.
Bagi Indonesia, Peradaban Ekologis seharusnya tidak dipandang sebagai konsep asing yang hanya dapat ditiru, tetapi lebih sebagai perspektif baru yang perlu diadaptasi secara kontekstual.
Sebagai negara kepulauan dengan keragaman ekosistem yang sangat luas, pendekatan yang komprehensif dan sensitif terhadap konteks lokal adalah hal yang mutlak diperlukan.
Dalam mengadaptasi konsep ini, Indonesia dapat belajar dari pengalaman China dalam mengembangkan teknologi hijau dan memastikan bahwa pendekatan keberlanjutan tidak hanya di tingkat kebijakan, tetapi juga dalam pelaksanaan teknis dan sosial.
Komitmen politik yang kuat, partisipasi aktif masyarakat, dan inovasi berkelanjutan yang berakar pada pengetahuan lokal akan menjadi faktor penentu keberhasilan adaptasi ini.
Sebagai contoh, Indonesia dapat memanfaatkan kerja sama dengan China untuk mempercepat transisi energi bersih di daerah-daerah terpencil.
Selain itu, proyek rehabilitasi ekosistem seperti penanaman kembali hutan mangrove dan peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dapat diintegrasikan dengan konsep Peradaban Ekologis yang menempatkan lingkungan sebagai aktor kunci.
Peradaban Ekologis mengajak kita untuk melampaui paradigma pembangunan konvensional dan membayangkan peradaban di mana kemajuan diukur berdasarkan kesehatan ekosistem dan kualitas hidup manusia, bukan hanya angka pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks krisis iklim yang mengancam masa depan umat manusia, pendekatan ini menawarkan secercah harapan, tapi juga memunculkan tantangan besar terkait pelaksanaannya.
Di satu sisi, ada potensi besar dalam merajut kembali hubungan yang hilang antara manusia dan planet ini. Namun di sisi lain, ketergantungan pada bahan bakar fosil dan kompromi sosial yang sering kali harus diambil menunjukkan adanya kontradiksi mendasar.
Banyak program yang tampak progresif dalam wacana keberlanjutan ternyata belum tentu menghasilkan keadilan sosial atau melibatkan masyarakat secara penuh.
Filosofi peradaban baru ini menuntut kita untuk tidak hanya memikirkan keberlanjutan dari aspek lingkungan, tetapi juga dari aspek keadilan sosial dan ekonomi, memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat dapat ikut merasakan manfaat dari perubahan menuju keberlanjutan tersebut.
Peradaban Ekologis bukanlah solusi final, tetapi proses dialektis yang terus berevolusi. Ia menawarkan ruang interogasi kritis terhadap model pembangunan yang ada, sambil menghadirkan horizon baru bagi pemahaman kita tentang bagaimana keberlanjutan dapat diimplementasikan dengan lebih baik.
Tantangan terbesar kita terletak pada kemampuan untuk melampaui batas-batas disiplin dan sektor, membangun pemikiran responsif dan adil terhadap kompleksitas lingkungan dan sosial.
Pendekatan ini tidak hanya tentang menyelamatkan lingkungan, tetapi juga tentang memastikan keadilan sosial, keberlanjutan ekonomi, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Setiap langkah kecil yang diambil menuju Peradaban Ekologis adalah bagian dari perjalanan panjang untuk membentuk masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai tanpa keterlibatan penuh dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta, serta tanpa mengatasi kontradiksi yang masih ada dalam penerapan konsep ini.
Tantangan-tantangan seperti ketergantungan pada bahan bakar fosil dan dampak sosial yang kurang diperhatikan harus diatasi agar visi Peradaban Ekologis dapat benar-benar terwujud menjadi peradaban yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya