Dalam hal ini, perlu adanya regulasi dan kebijakan yang memastikan transfer teknologi dan investasi dari China dilakukan secara transparan, mengedepankan keberlanjutan lingkungan, dan menghormati hak-hak komunitas lokal.
Bagi Indonesia, Peradaban Ekologis seharusnya tidak dipandang sebagai konsep asing yang hanya dapat ditiru, tetapi lebih sebagai perspektif baru yang perlu diadaptasi secara kontekstual.
Sebagai negara kepulauan dengan keragaman ekosistem yang sangat luas, pendekatan yang komprehensif dan sensitif terhadap konteks lokal adalah hal yang mutlak diperlukan.
Dalam mengadaptasi konsep ini, Indonesia dapat belajar dari pengalaman China dalam mengembangkan teknologi hijau dan memastikan bahwa pendekatan keberlanjutan tidak hanya di tingkat kebijakan, tetapi juga dalam pelaksanaan teknis dan sosial.
Komitmen politik yang kuat, partisipasi aktif masyarakat, dan inovasi berkelanjutan yang berakar pada pengetahuan lokal akan menjadi faktor penentu keberhasilan adaptasi ini.
Sebagai contoh, Indonesia dapat memanfaatkan kerja sama dengan China untuk mempercepat transisi energi bersih di daerah-daerah terpencil.
Selain itu, proyek rehabilitasi ekosistem seperti penanaman kembali hutan mangrove dan peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dapat diintegrasikan dengan konsep Peradaban Ekologis yang menempatkan lingkungan sebagai aktor kunci.
Peradaban Ekologis mengajak kita untuk melampaui paradigma pembangunan konvensional dan membayangkan peradaban di mana kemajuan diukur berdasarkan kesehatan ekosistem dan kualitas hidup manusia, bukan hanya angka pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks krisis iklim yang mengancam masa depan umat manusia, pendekatan ini menawarkan secercah harapan, tapi juga memunculkan tantangan besar terkait pelaksanaannya.
Di satu sisi, ada potensi besar dalam merajut kembali hubungan yang hilang antara manusia dan planet ini. Namun di sisi lain, ketergantungan pada bahan bakar fosil dan kompromi sosial yang sering kali harus diambil menunjukkan adanya kontradiksi mendasar.
Banyak program yang tampak progresif dalam wacana keberlanjutan ternyata belum tentu menghasilkan keadilan sosial atau melibatkan masyarakat secara penuh.
Filosofi peradaban baru ini menuntut kita untuk tidak hanya memikirkan keberlanjutan dari aspek lingkungan, tetapi juga dari aspek keadilan sosial dan ekonomi, memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat dapat ikut merasakan manfaat dari perubahan menuju keberlanjutan tersebut.
Peradaban Ekologis bukanlah solusi final, tetapi proses dialektis yang terus berevolusi. Ia menawarkan ruang interogasi kritis terhadap model pembangunan yang ada, sambil menghadirkan horizon baru bagi pemahaman kita tentang bagaimana keberlanjutan dapat diimplementasikan dengan lebih baik.
Tantangan terbesar kita terletak pada kemampuan untuk melampaui batas-batas disiplin dan sektor, membangun pemikiran responsif dan adil terhadap kompleksitas lingkungan dan sosial.
Pendekatan ini tidak hanya tentang menyelamatkan lingkungan, tetapi juga tentang memastikan keadilan sosial, keberlanjutan ekonomi, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Setiap langkah kecil yang diambil menuju Peradaban Ekologis adalah bagian dari perjalanan panjang untuk membentuk masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai tanpa keterlibatan penuh dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta, serta tanpa mengatasi kontradiksi yang masih ada dalam penerapan konsep ini.
Tantangan-tantangan seperti ketergantungan pada bahan bakar fosil dan dampak sosial yang kurang diperhatikan harus diatasi agar visi Peradaban Ekologis dapat benar-benar terwujud menjadi peradaban yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya