Kendati pemerintah telah menetapkan target net-zero emission pada 2060, berbagai kebijakan yang dikeluarkan dinilai tidak selaras.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022, misalnya, mengatur pemberhentian operasi PLTU pada 2050.
Fabby menyatakan, Perpres tersebut tidak tercermin dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUKN) maupun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru.
“Ada persoalan dengan sinkronisasi peraturan dan kebijakan kita untuk mencapai target net- zero 2060 atau lebih awal. Kalau ada ketidaksesuaian satu dengan yang lain, menjadi indikasi pemerintah tidak satu target,” tutur dia.
Baca juga: RI-Kanada Sepakati Kerja Sama Mineral Kritis dan Transisi Energi
Oleh sebab itu, IESR menekankan pentingnya penyelarasan kebijakan dan regulasi agar transisi energi berjalan efektif. Dengan begitu, Kebijakan Energi Nasional, RUKN, hingga RUPTL PLN memiliki target yang sama.
Saat target mengakhiri PLTU pada 2040 ditetapkan, kebijakan di tingkat kementerian juga harus mendukung.
Di sisi lain, Fabby menyatakan potensi percepatan transisi energi di dua sektor utama, yaitu kelistrikan dan transportasi.
Di sektor kelistrikan, pembangunan pembangkit energi terbarukan sebesar 5-7 gigawatt hingga 2030 menjadi langkah penting yang harus dilakukan PT PLN.
Sementara di sektor transportasi, elektrifikasi kendaraan seperti motor listrik, mobil listrik, dan bus listrik mulai menunjukkan perkembangan.
Baca juga: Bappenas Sebut APBN Tak Mampu Biayai Seluruh Transisi Energi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya