KOMPAS.com - Para ilmuwan menyatakan bahwa ulah manusia bisa jadi sedang memicu peristiwa kepunahan massal terbesar di Bumi sejak asteroid yang membinasakan dinosaurus.
Kesimpulan ini dicapai melalui peninjauan ulang terhadap riset perubahan lingkungan selama puluhan tahun dan serangkaian lokakarya yang melibatkan paleobiolog serta ekolog, di mana mereka membandingkan laju kepunahan spesies saat ini dengan data kepunahan yang tercatat dalam fosil.
"Kesimpulan studi ini adalah bahwa meskipun laju kepunahan saat ini luar biasa, laju tersebut belum mencapai ambang batas 'kepunahan massal' yang sesungguhnya. Tetapi kondisi tersebut dapat terjadi seiring waktu jika hilangnya keanekaragaman hayati terus meningkat pesat," tulis peneliti dalam makalahnya.
Dr. Jack Hatfield dari Leverhulme Centre for Anthropocene Biodiversity menyatakan kecepatan perubahan yang kita saksikan saat ini belum pernah terjadi dalam 66 juta tahun terakhir, namun yang paling penting adalah, semuanya belum terlambat.
Baca juga: Langkah Maju Konservasi, IUCN Adopsi Resolusi Lawan Kejahatan Lingkungan
"Pesannya sangat jelas, spesies kita telah menjadi kekuatan yang membentuk sejarah Bumi, dan kita masih memegang kendali untuk menentukan akhir dari kisah ini." katanya.
Melansir Phys, Kamis (16/10/2025) dalam studinya, para peneliti melacak jejak dampak manusia terhadap kepunahan sejak sekitar 130.000 tahun lalu, ditandai dengan hilangnya hewan-hewan besar seperti mammoth dan kukang tanah raksasa.
Ketika populasi manusia meluas ke seluruh Bumi, spesies yang hidup di pulau-pulau mulai punah, diikuti oleh kepunahan yang lebih baru, seperti harimau Tasmania dan sapi laut Steller.
Dengan membandingkan perubahan yang terlihat saat ini dengan peristiwa purba, tim tersebut menemukan bahwa kepunahan dinosaurus mengakibatkan hilangnya proporsi spesies yang sangat besar dalam waktu singkat.
Sementara peristiwa hari ini telah mengakibatkan hilangnya spesies yang substansial dan berlangsung cepat, tetapi tidak dalam skala dan kecepatan seperti asteroid yang menyebabkan kepunahan massal terakhir.
Jika dilihat dari tingkat hilangnya keanekaragaman hayati, peristiwa kepunahan yang paling sebanding dengan yang terjadi saat ini adalah peristiwa Eosen-Oligosen yang terjadi sekitar 34 juta tahun silam. Peristiwa tersebut diperkirakan dipicu oleh pendinginan global dan terbentuknya lapisan es di Antartika.
Baca juga: Anak Muda Cinta Lingkungan tapi Belum Bertindak, Ini Temuan Youth Sustainability Index 2025
Pada peristiwa purba itu, persentase mamalia yang hilang di berbagai benua sangat besar. Namun, peristiwa Eosen-Oligosen diperkirakan berlangsung jauh lebih lambat dibandingkan perubahan yang terjadi hari ini.
Peristiwa itu memakan waktu jutaan tahun, berbeda dengan dampak yang ditimbulkan aktivitas manusia saat ini yang hanya diperkirakan terjadi dalam kurun waktu 100.000 tahun.
Karena peristiwa Eosen-Oligosen mendahului munculnya manusia, perbedaan mendasar antara kepunahan 34 juta tahun lalu dan krisis saat ini terletak pada dampak yang disebabkan oleh aktivitas manusia terhadap lingkungan.
Menurut para peneliti, temuan ini menjadi peringatan keras mengenai pentingnya tindakan segera untuk mengurangi kerusakan lingkungan, alih-alih menunda-nunda tindakan tersebut.
Buktinya tetap menunjukkan bahwa dunia sedang mengalami perubahan drastis yang hampir sepenuhnya dipicu oleh aktivitas manusia. Kini, terserah pada kita untuk mengubah alur kisah ini.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Global Change Biology.
Baca juga: Sisa 87 Ekor dan Cuma Ada di Indonesia, Badak Jawa di Ujung Kepunahan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya