Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengamat: Pengawasan Hutan Lemah karena Anggaran Pengelolaan Terlalu Kecil

Kompas.com, 18 Oktober 2025, 08:08 WIB
Manda Firmansyah,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia mempunyai sekitar 120,5 juta hektar kawasan hutan. Namun, pengawasan terhadap hutan hanya dilakukan di Taman Nasional saja karena merupakan kawasan yang dilindungi negara.

Menurut pakar kehutanan, Petrus Gunarso, pengawasan terhadap hutan di luar kawasan Taman Nasional kurang mendapatkan perhatian. Padahal, satwa tidak hanya menghuni Taman Nasional, termasuk spesies kunci (keystone species) seperti orangutan dan harimau.

"Belum lagi kalau berbicara hutan lindung, karena satwa liar juga ada di hutan itu. Luas sekali yang ditetapkan, masalahnya di dalam wilayah itu tidak dikelola, enggak dijaga. Enggak cukup tenaga pemerintah, tidak cukup anggaran pemerintah kalau kita juga tidak ikut terlibat di dalamnya," ujar Petrus di Jakarta, Jumat (17/10/2025).

Baca juga: Menhut Percepat Penetapan Hutan Adat guna Optimalkan Pelestarian Hutan

Ia mengritik kecilnya anggaran negara yang dialokasikan untuk pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan.

"Biaya menjaga hutan yang luasnya luasnya 120 juta hektar, yang hutan produksi itu luasnya sekitar 60 juta hektar, biaya menjaganya sepersepuluh dari biaya dana desa. Aneh banget, kan? Desa itu kalau dikumpulin, dikumpulkan mungkin hanya sekitar 15 juta hektar. Anggaran untuk mengelola hutan seluas 120 juta hektar kecil sekali. Maka, anehnya enggak ada yang protes, karena saya pernah di kehutanan, saya pernah di biro perencanaan," tutur Petrus.

Sebenarnya, kata dia, pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan membutuhkan anggaran dana yang besar. Yang terjadi di Indonesia, pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan diurus negara dengan anggaran dana terlalu kecil.

Imbasnya, pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan kurang efektif, serta menimbulkan berbagai permasalahan, seperti pencurian kayu dan perburuan satwa liar.

"Jadi tenang-tenang saja ya dikasih budget kecil. Yang terjadi akhirnya malah pelepasan-pelepasan, terus. Kehutanan kok tenggelam malah, melepaskan kawasan itu, ya. Diubah jadi sawit, diubah jadi tambang," ucapnya.

Ia menganggap kebijakan pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan di Indonesia masih bersifat Jakarta-sentris.

Baca juga: Tropenbos Kembangkan Agroforestri Karet dan Kopi Liberika di Kalbar

"Karena dikelola sendiri oleh pemerintah dan hanya dipandang dari Jakarta. Kalau di lapangan, masyarakat dilibatkan, hutan desa dihidupkan, kemudian hutan adat dihidupkan, semuanya sebenarnya jadi ringan dan terjaga, ya kan?. Nah, kalau kebijakan semuanya dari Jakarta dengan budgetnya yang kecil tadi, ya (hutannya) enggak bakalan aman," ujar Petrus.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau