JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia mempunyai sekitar 120,5 juta hektar kawasan hutan. Namun, pengawasan terhadap hutan hanya dilakukan di Taman Nasional saja karena merupakan kawasan yang dilindungi negara.
Menurut pakar kehutanan, Petrus Gunarso, pengawasan terhadap hutan di luar kawasan Taman Nasional kurang mendapatkan perhatian. Padahal, satwa tidak hanya menghuni Taman Nasional, termasuk spesies kunci (keystone species) seperti orangutan dan harimau.
"Belum lagi kalau berbicara hutan lindung, karena satwa liar juga ada di hutan itu. Luas sekali yang ditetapkan, masalahnya di dalam wilayah itu tidak dikelola, enggak dijaga. Enggak cukup tenaga pemerintah, tidak cukup anggaran pemerintah kalau kita juga tidak ikut terlibat di dalamnya," ujar Petrus di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Baca juga: Menhut Percepat Penetapan Hutan Adat guna Optimalkan Pelestarian Hutan
Ia mengritik kecilnya anggaran negara yang dialokasikan untuk pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan.
"Biaya menjaga hutan yang luasnya luasnya 120 juta hektar, yang hutan produksi itu luasnya sekitar 60 juta hektar, biaya menjaganya sepersepuluh dari biaya dana desa. Aneh banget, kan? Desa itu kalau dikumpulin, dikumpulkan mungkin hanya sekitar 15 juta hektar. Anggaran untuk mengelola hutan seluas 120 juta hektar kecil sekali. Maka, anehnya enggak ada yang protes, karena saya pernah di kehutanan, saya pernah di biro perencanaan," tutur Petrus.
Sebenarnya, kata dia, pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan membutuhkan anggaran dana yang besar. Yang terjadi di Indonesia, pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan diurus negara dengan anggaran dana terlalu kecil.
Imbasnya, pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan kurang efektif, serta menimbulkan berbagai permasalahan, seperti pencurian kayu dan perburuan satwa liar.
"Jadi tenang-tenang saja ya dikasih budget kecil. Yang terjadi akhirnya malah pelepasan-pelepasan, terus. Kehutanan kok tenggelam malah, melepaskan kawasan itu, ya. Diubah jadi sawit, diubah jadi tambang," ucapnya.
Ia menganggap kebijakan pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan hutan di Indonesia masih bersifat Jakarta-sentris.
Baca juga: Tropenbos Kembangkan Agroforestri Karet dan Kopi Liberika di Kalbar
"Karena dikelola sendiri oleh pemerintah dan hanya dipandang dari Jakarta. Kalau di lapangan, masyarakat dilibatkan, hutan desa dihidupkan, kemudian hutan adat dihidupkan, semuanya sebenarnya jadi ringan dan terjaga, ya kan?. Nah, kalau kebijakan semuanya dari Jakarta dengan budgetnya yang kecil tadi, ya (hutannya) enggak bakalan aman," ujar Petrus.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya