DI SATU sisi, negeri ini mengibarkan bendera hijau. Di sisi lain, asap dari cerobong batu bara masih menebal di langit ekonomi nasional.
Itulah paradoks besar Indonesia hari ini—antara komitmen hijau yang kian mengeras di forum dunia dan ketergantungan pada energi fosil yang belum juga surut.
Transisi energi bukan sekadar mengganti sumber listrik. Ia adalah ujian kedaulatan. Pertanyaannya: apakah Indonesia benar-benar sedang menapaki jalan menuju ekonomi hijau, atau justru tersesat di jalan karbon yang baru?
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada 2022.
Target penurunan emisi gas rumah kaca naik dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan pendanaan global.
Di atas kertas, komitmen ini menandai keseriusan Indonesia menuju net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Namun di lapangan, cerita berbeda. Lebih dari 60 persen listrik nasional masih bergantung pada batu bara.
Rencana pensiun dini pembangkit batu bara memang mulai dibahas, tetapi implementasinya berjalan lambat.
Investasi besar tetap mengalir ke sektor fosil, sementara energi terbarukan baru menyumbang sekitar 13 persen dari bauran nasional.
Seperti dua kaki yang melangkah ke arah berbeda, kebijakan energi kita masih mencari keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan tuntutan keberlanjutan.
Pemerintah berada dalam posisi sulit: menjaga agar mesin ekonomi tidak mati, sambil memastikan emisi menurun sesuai janji global.
Dalam pertemuan G20 di Bali pada November 2022, Indonesia mendapat sorotan dunia setelah meluncurkan Just Energy Transition Partnership atau JETP.
Skema pendanaan senilai 20 miliar dolar AS itu disebut sebagai terobosan besar untuk mempercepat transisi energi.
Namun, JETP bukan proyek nasional murni. Ia adalah skema pendanaan internasional yang melibatkan Amerika Serikat, Jepang, dan negara anggota G7 lainnya.
Dana tersebut bukan hibah, melainkan campuran antara pembiayaan lunak, investasi swasta, dan sebagian kecil bantuan teknis.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya