PUSAT konsentrasi populasi dan aktivitas manusia di masa depan akan berada di wilayah urban.
Data Badan Pusat Statistik pada 2022, menunjukkan sudah lebih dari setengah orang Indonesia tinggal di wilayah perkotaan.
Sedangkan World Bank memperkirakan bahwa 70 persen penduduk Indonesia akan tinggal di wilayah perkotaan dalam kurun waktu 20 tahun dari 2019.
Jumlah manusia yang bertambah tentunya dibarengi penambahan aktivitas. Aktivitas yang dominan berasal dari sektor transportasi dan lingkungan binaan atau built environment (misalnya, konstruksi dan operasional bangunan).
Jumlah manusia dan aktivitas yang bertambah di wilayah urban akan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Mengapa?
Publikasi tahunan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berjudul "Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2023" (HEESI 2023) menunjukkan bahwa sektor rumah tangga (household) mengkonsumsi sekitar 12 persen total energi yang tersedia di Indonesia.
Energi yang dikonsumsi sektor itu setengahnya berupa listrik dan hampir setengahnya lagi adalah LPG. Hampir seluruh produksi listrik kita berasal dari pembakaran batu bara, emisi yang dihasilkan pun besar.
Jika emisi dari aktivitas lain di perkotaan juga diikutsertakan (misalnya, dari sektor transportasi dan operasional bangunan gedung), hasilnya tentu akan lebih besar lagi.
Dengan prediksi makin banyak orang yang akan tinggal di wilayah urban seperti yang disebutkan sebelumnya, makin besar pula emisi GRK yang dihasilkan.
Menyadari wilayah urban merupakan penghasil GRK yang signifikan, sistem energi mereka harus segera beralih ke yang berkelanjutan.
Peralihan ini dilakukan dengan penghematan energi supaya penggunaannya lebih efisien, penerapan prinsip Bangunan Gedung Hijau (BGH) pada bangunan, dan penggunaan sumber energi terbarukan. Peralihan ini bukan sesuatu yang mudah, mengingat struktur wilayah urban yang kompleks.
Apa hal yang harus diperhatikan dalam proses peralihan tersebut?
Dari hasil refleksi pribadi penulis dalam menjalankan proyek Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI) selama setahun, kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan adalah vital.
Pemangku kepentingan utama adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kota, sektor swasta, organisasi masyarakat, dan mitra internasional.
Pemerintah pusat menentukan target pengurangan emisi nasional berdasarkan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDCs) sambil memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan keamanan suplai energi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya