Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

AI Bilang Sawit Rusak Hutan adalah Misinformasi, Bagaimana Bisa?

Kompas.com - 06/01/2025, 16:22 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Beri prompt "misinformasi kelapa sawit" di ChatGPT dan Google Gemini dan Anda akan mendapati jawaban bahwa "sawit merusak hutan" dan "sawit haus air" atau 'sawit menyebabkan tandus" adalah misinformasi.

AI menyatakan, klaim sawit merusak hutan telah dibantah oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Ia menyatakan Indonesia justru merupakan penghasil carbon credit terbesar di dunia dan dapat menyerap karbon dioksida. 

Baca juga: Kelapa Sawit Kontroversial dan Politis, Bagaimana AI Menarasikannya?

Ilmuwan senior Center for International Forestry Research - International Center for Research in Agroforestry (CIFOR-ICRAF) dan guru besar di IPB University, Herry Purnomo, mengungkapkan bawa klarifikasi tersebut justru bermasalah.

World Resources Institute mencatat, sawit jelas menyebabkan deforestasi dengan total lebih dari 3 juta hektar selama 20 tahun terakhir. Deforestasi memuncak antara tahun 2009 hingga 2012, saat harga sawit juga sedang tinggi-tingginya.

Jadi, sawit jelas merusak hutan. Pembukaan hutan primer dan sekunder untuk sawit membuat lahan terfragmentasi. Akhirnya, sawit otomatis berkontribusi pada pengurangan habitat dan populasi orangutan.

Herry juga menganggap argumen sawit menyimpan karbon bermasalah. "Sawit menyimpan karbon 40 ton per hektar. Sementara hutan sekunder saja 200 ton. Kecuali sawit ditanam di alang alang, sawit membuang karbon," katanya.

Peneliti darri WRI Indonesia, Briantama Asmara, mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan komoditas minyak nabati lain, sawit memang bukan yang terbesar. Tapi, bukan berarti water footprint sawit kecil.

"Apalagi kalau sudah konversi hutan, yang merupakan natural ecosystem. Kalau dibandinkan dengan hutan vs oil palm, jelas oil palm kalau urusan footprint. Tapi ketika narasinya dibenturkan dengan oil crops lainnya, pasti oil palm bukan yang terbesar," terangnya.

Baca juga: Kelapa Sawit dan Deforestasi: Menjaga Kemajuan di Tengah Ancaman Baru

"Belum lagi, ekspansi kelapa sawit itu langsung masif, jelas water footprintnya akan semakin besar. Hitungan water footprint itu per yield juga, harus dipertimbangkan juga rasio water footprint dari hasil areal perkebunan perusahaan agar valid," imbuhnya.

ChatGPT menjawab dengan referensi GAPKI bahwa total lahan yang dikonversi menjadi sawit hingga tahun 2020 hanya 14 persen dari total konversi hutan menjadi non-hutan dari sejak zaman kolonial.

Briantama saat dihubungi Kompas.com, Minggu (5/1/2025), mengatakan, "Metode yang digunakan untuk klaim itu asal dan hanya memperhitungkan proporsi deforestasi dengan luas lahan sawit terkini."

Ia mengatakan, "Masih butuh investigasi lagi. Konten-konten yang khusus misinformasi banyak dibuat oleh perusahaan untuk memperbaiki citra." ia melihat, sekilas AI juga lebih merujuk pada situs web pemerintah dan perusahaan daripada jurnal ilmiah.

Melihat sekilas narasi AI itu, Briantama mengatakan, perlu ada investigasi lebih lanjut soal bagaimana narasi AI tentang kelapa sawit, terutama ketika AI semakin sering dipakai sebagai cara gampang mendapatkan jawaban.

Apa saja yang bisa diteliti? Baca di artikel ini:

Narasi AI soal Kelapa Sawit, 3 Hal Ini Harus Diinvestigasi

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau