Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenaikan Permukaan Air Laut Banjiri Pelabuhan Minyak Utama Dunia

Kompas.com - 06/01/2025, 19:42 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Guardian

KOMPAS.com - Analisis dari International Cryosphere Climate Initiative (ICCI) menunjukkan bahwa naiknya permukaan air laut yang didorong oleh krisis iklim akan membanjiri banyak pelabuhan minyak terbesar di dunia.

Ini adalah laporan yang ironis mengingat pelabuhan minyak menjadi salah satu rantai penyebab pemanasan global dan kini justru terkena dampaknya sendiri.

Menurut laporan tersebut, tiga belas pelabuhan dengan lalu lintas supertanker tertinggi akan rusak parah akibat kenaikan permukaan air laut setinggi 1 meter.

Mengutip Guardian, Senin (6/1/2025), peneliti mengatakan bahwa dua pelabuhan dataran rendah di Arab Saudi yaitu Ras Tanura dan Yanbu, sangat rentan dengan risiko tersebut.

Kedua pelabuhan itu dioperasikan oleh Aramco, perusahaan minyak negara Saudi dan 98 persen ekspor minyak negara ini dikirim melalui pelabuhan-pelabuhan tersebut.

Baca juga: Karena Pemanasan Global, Spanyol Bisa Berubah Jadi Iklim Gurun

Selain itu, pelabuhan minyak di Houston dan Galveston di Amerika Serikat, juga masuk dalam daftar pelabuhan dengan risiko kerusakan akibat kenaikan permukaan air laut. Disusul dengan pelabuhan di Uni Emirat Arab, China, Singapura, serta Belanda.

Kenaikan permukaan air laut setinggi 1 meter ini tidak terelakkan dalam kurun waktu sekitar 1 abad dan bisa terjadi paling cepat pada 2070, jika lapisan es mencair serta emisi tidak dikendalikan.

Kemudian, kenaikan yang lebih tinggi lagi, yaitu 3 meter kemungkinan bisa tak terelakkan dalam satu atau dua milenium mendatang dan bisa terjadi paling cepat pada awal 2100-an.

Peneliti juga mencatat bahwa kenaikan permukaan air laut menimbulkan masalah lain seperti banjir pesisir, sementara infiltrasi air asin ke daratan pesisir dapat mengikis fondasi.

"Sungguh ironis pelabuhan tanker minyak berada di bawah 1 meter dari permukaan laut," kata Pam Pearson, direktur ICCI.

Kenaikan permukaan laut adalah dampak jangka panjang paling mendalam dari krisis iklim, yang mengubah peta dunia dan memengaruhi banyak kota besar dari New York hingga Shanghai.

Namun, Pearson mengatakan kepentingan jangka pendek pemerintah dan perusahaan membuat hal ini diabaikan.

"Penilaian ilmiah tentang kenaikan permukaan laut tampaknya tidak masuk ke dalam kesadaran pemerintah,” katanya.

James Kirkham, kepala penasihat sains ICCI, menambahkan, menolak untuk mematikan penggunaan minyak berarti terus membuka kesempatan untuk kenaikan permukaan laut.

Itu tidak akan terjadi kecuali para pemimpin bersungguh-sungguh beralih dari bahan bakar fosil.

Lebih lanjut, analisis baru ini berdasarkan pada hasil kerja Mei tahun lalu di mana peneliti menemukan bahwa 13 dari 15 pelabuhan minyak dengan lalu lintas kapal tanker minyak terbesar rentan terhadap kenaikan muka air laut.

Baca juga: Investasi Energi Bersih Global Lebih Tinggi dari Bahan Bakar Fosil

Peta kenaikan muka air laut dari Climate Central dan Google Maps digunakan untuk menunjukkan bahwa kenaikan setinggi 1 meter akan merusak dermaga, fasilitas penyimpanan minyak, kilang minyak, dan infrastruktur lainnya.

Tim juga menggunakan data ekspor minyak Bloomberg untuk memperkirakan volume dan nilai minyak yang diimpor dan diekspor dari pelabuhan tersebut.

Pelabuhan Ras Tanura dan Yanbu tercatat mengekspor minyak senilai 214 miliar dollar AS pada tahun 2023.

Sementara, secara total 13 pelabuhan tersebut menyumbang sekitar 20 persen dari ekspor minyak global pada tahun 2023.

“Analisis ini menunjukkan bahwa mengandalkan bahan bakar fosil di dunia yang memanas adalah jalan menuju bencana, bukan keamanan energi," papar Murray Worthy, dari Zero Carbon Analytics.

Upaya untuk menanggulangi permasalahan bisa saja dilakukan dengan membangun tanggul.

Namun, Worthy memperingatkan bahwa itu pada akhirnya adalah usaha yang sia-sia. Selain memerlukan biaya yang sangat mahal, itu juga harus dilakukan terus menerus.

"Anda harus terus membangun tembok laut lebih tinggi dari waktu ke waktu," katanya.

Baca juga: Kelapa Sawit Kontroversial dan Politis, Bagaimana AI Menarasikannya?

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau