Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi: Perubahan Iklim Tingkatkan Kekerasan Terhadap Perempuan

Kompas.com - 06/01/2025, 18:14 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bencana alam yang semakin sering terjadi, seperti siklon, banjir, dan gelombang panas, bersamaan dengan perubahan kronis seperti naiknya permukaan air laut dan suhu rata-rata yang lebih tinggi, ternyata tidak hanya mengancam ekosistem tetapi juga stabilitas sosial.

Perubahan stabilitas itu kemudian secara tidak proporsional memengaruhi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, di mana sumber daya yang terbatas dan ketidakadilan membuat pemulihan dari guncangan iklim menjadi sangat sulit.

Di tengah tantangan itu, satu konsekuensi perubahan iklim lain mulai muncul yaitu meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga.

Baca juga:

Dikutip dari The Brighter Side, Senin (6/1/2025) negara-negara yang terkena dampak bencana iklim sering melaporkan tingkat KDRT yang lebih tinggi pada perempuan.

Mengapa begitu?

Di banyak masyarakat, perempuan memikul tanggung jawab utama untuk mengamankan pangan dan pengasuhan, peran yang semakin meningkat selama masa krisis iklim.

Tekanan-tekanan ini meningkatkan kerentanan mereka, karena mereka harus menghadapi kesulitan lingkungan dan ketidakstabilan dalam negeri.

Di sisi lain, guncangan iklim mengganggu mata pencaharian dan melemahkan peran laki-laki sebagai pencari nafkah utama di banyak rumah tangga, yang menyebabkan stres dan kesehatan mental yang menurun.

Pada gilirannya, hal ini dapat menyebabkan eskalasi KDRT.

Sementara akses perempuan ke sumber daya lain yang penting bagi kemandirian mereka sering kali dibatasi sehingga membuat perempuan lebih bergantung pada pasangannya.

Temuan tersebut berdasarkan analisis terhadap kumpulan data representatif nasional yang mencakup 156 negara antara tahun 1993 dan 2019.

Penelitian ini menggunakan 363 survei, termasuk data dari berbagai organisasi seperti Organisasi Kesehatan Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dengan menggabungkan kumpulan data tersebut, peneliti mengeksplorasi dua hipotesis: apakah guncangan iklim terkait dengan prevalensi KDRT yang lebih tinggi dan apakah hubungan ini berlaku di berbagai negara dengan status ekonomi yang bervariasi.

Temuan yang dipublikasikan di PLOS Climate ini mengungkap hubungan yang signifikan antara guncangan iklim tertentu terutama badai, tanah longsor, dan banjir dan peningkatan angka KDRT.

Menariknya, jenis guncangan lainnya, seperti kebakaran hutan dan kekeringan, tidak menunjukkan dampak yang terukur.

Baca juga:

Faktor ekonomi juga berperan di mana negara-negara dengan PDB yang lebih tinggi umumnya melaporkan prevalensi KDRT yang lebih rendah.

“Bencana terkait iklim meningkatkan stres dan kerawanan pangan dalam keluarga yang dapat menyebabkan peningkatan kekerasan. Pemerintah perlu memasukkan pertimbangan kekerasan terhadap perempuan ke dalam perencanaan iklim dan bencana,” papar Peneliti utama Profesor Jenevieve Mannell dari Institut Kesehatan Global University College London, Inggris.

Temuan studi ini pun menekankan perlunya tindakan proaktif untuk mengurangi risiko KDRT dalam konteks perubahan iklim. Pemerintah dapat memasukkan strategi yang peka gender ke dalam kebijakan iklim mereka.

Penanganan KDRT dalam konteks perubahan iklim pun juga memerlukan kolaborasi lintas sektor, termasuk kesehatan masyarakat, manajemen bencana, dan pembangunan internasional.

Dengan guncangan iklim yang diproyeksikan akan meningkat dalam beberapa dekade mendatang, mengintegrasikan kesetaraan gender ke dalam strategi adaptasi iklim tidak hanya etis tetapi juga penting untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan dan aman.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau