Embargo oleh negara-negara anggota OPEC ini telah menjadi pelajaran bagi negara-negara maju untuk membentuk blok-blok kerja sama di bidang energi, seperti International Energy Agency (IEA, 1974) dan European Energy Charter (EnCharter, 1991).
IEA didirikan oleh negara negara-negara anggota The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang beranggotakan 31 negara dan 13 negara asosiasi.
Untuk menghindari krisis minyak terulang kembali, negara-negara anggota IEA telah menetapkan mekanisme tanggap darurat krisis energi.
Setiap negara anggota diwajibkan memiliki Cadangan Penyangga Minyak (Strategic Petroleum Reserve/SPR) selama 90 hari konsumsi yang dihitung berdasarkan jumlah impor bersih setiap harinya (days net import).
Indonesia belum memiliki SPR, Pertamina hanya memiliki cadangan operasional sekitar 2 hingga 3 minggu.
Baca juga: Pembukaan Hutan untuk Pangan hingga Energi Dinilai Akan Rusak Alam
Kembali ke pertanyaan di atas. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut, mengingat faktanya target bauran energi nasional dari tahun ke tahun tidak pernah tercapai, dan konsumsi energi per kapita pun masih sangat rendah.
Artinya, rakyat Indonesia pada umumnya masih “berkutat” dengan kebutuhan pokok, dan itu pastinya “bukan” energi!
Seperti telah disampaikan pada artikel bagian kedua, jika konsumsi listrik per kapita Indonesia tahun 2024 sekitar 1.400 kWh/tahun, maka konsumsi itu masih jauh di bawah ambang batas kesejahteraan (UNDP), yakni 4.000 kWh/tahun.
Selain itu, Indonesia pun telah mengimpor listrik dari Malaysia di Kalimantan Barat sejak 2013.
Lantas, “Apakah ketahanan energi Indonesia (sebenarnya) semu?”
Ketahanan energi semu (pseudo energy security) adalah kondisi di mana ketersediaan pasokan energi tampaknya seperti cukup, padahal sebenarnya rentan terhadap ancaman dan gangguan.
Ketahanan energi semu dalam waktu relatif pendek mengakibatkan “krisis energi senyap” (silent energy crisis).
Krisis energi senyap diawali saat krisis energi global 2021 yang dipicu oleh kebutuhan pasokan energi guna pemulihan ekonomi pasca Covid-19, kemudian diperburuk oleh invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022.
Krisis ini disebut "senyap" karena berlangsung secara bertahap, tak nampak dan tanpa pemicu disruptif, tetapi dampak gangguannya sangat luas terhadap rantai pasokan dan roda perekonomian.
Krisis energi senyap telah menyebabkan harga energi sangat tinggi, kekurangan bahan bakar dan perlambatan ekonomi yang berdampak pada sektor rumah tangga.
Harga energi yang mahal mendorong kemiskinan, utamanya keluarga kelas menengah ke bawah, memaksa pabrik-pabrik menurunkan produksinya atau ditutup.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya