Dari sisi lingkungan, krisis ini telah menekankan pentingnya investasi pada sumber EBT, guna mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Bagi Indonesia, faktor penyebabnya antara lain karena ketergantungan pada sumber energi fosil, infrastruktur energi terbatas, daya beli energi masyarakat rendah, tidak ada kepastian hukum dan bisnis energi, serta kebijakan energi pemerintah yang tidak berjalan efektif.
Hal ini ditandai dengan pasokan energi tidak stabil, harga energi berfluktuasi, ketergantungan terhadap impor, investasi pada sumber EBT terkendala, serta terpaparnya terhadap risiko keamanan dan sabotase.
Dampak utama dari ketahanan energi semu adalah roda perekonomian tidak bergulir, dampak lingkungan yang merugikan, dan kehilangan peluang pemanfaatan EBT.
Apabila ketahanan energi semu ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka krisis energi senyap bisa berubah menjadi krisis energi ‘berisik’ atau nyata.
Baca juga: BPH Migas: Penguatan Infrastruktur Gas Bumi Jadi Strategi Utama Menjaga Ketahanan Energi Nasional
Pertanyaan: “Bagaimana mengukur ketahanan energi semu?” Terdapat banyak cara untuk mengukurnya, antara lain:
Salah satu penyebab utama ketahanan energi semu adalah karena para pengambil keputusan “enggan” untuk berinvestasi karena “takut” dikriminalisasi. Sehingga, semua kebijakan di bidang energi tidak berjalan efektif, dan mengakibatkan pembangunan infrastruktur serta target bauran energi tidak tercapai karena tata-niaga energi tersumbat.
Patut diwaspadai bahwa ketahanan energi semu juga bisa disebabkan karena “perang asimetris” telah dan sedang terjadi di Indonesia, baik oleh aktor-aktor internal maupun eksternal.
Baca juga: Swasembada Energi Bukan Mimpi (1)
Kesimpulannya, meskipun kaya akan ragam SDE, Indonesia belum mampu memenuhi aspek-aspek ketahanan energi sehingga yang terwujud ketahanan energi “semu.”
Beberapa indikasinya antara lain: taget bauran energi tidak tercapai, konsumsi energi per kapita sangat rendah, investasi untuk infrastruktur energi terkendala, daya beli energi rakyat rendah, dan ketergantungan pada fosil semakin tinggi.
“Pengelolaan energi yang salah diawali dengan Krisis Energi Senyap dan berubah menjadi Nyata, menghasilkan Ketahanan Energi Semu dan akhirnya Swasembada Energi hanyalah sebuah khayalan.”
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya