KOMPAS.com - Peneliti mengusulkan untuk beralih ke pola makan nabati untuk membantu mengatasi perubahan iklim.
Ini karena sepertiga dari produksi gas rumah kaca global hingga saat ini dikaitkan dengan peternakan hewan dan sistem pangan.
Sayangnya, sebagian besar solusi perubahan iklim mengabaikan dampak sistem pangan tersebut.
"Memecahkan permasalahan perubahan iklim memerlukan perubahan sistem pangan kita," tulis peneliti dalam makalah mereka yang dipublikasikan di Oxford Open Climate Change.
Profesor Andrew Knight, salah satu penulis dari Universitas Murdoch, Australia mengatakan peternakan hewan merupakan penghasil utama gas rumah kaca dan penyebab utama penggundulan hutan dan penggunaan air tawar," katanya.
"Namun dibandingkan dengan emisi lain seperti sektor transportasi, peternakan hewan hanya mendapat sedikit perhatian," paparnya lagi.
Baca juga:
Menurutnya, emisi dari peternakan hewan begitu besar sehingga kita tidak dapat secara efektif memperlambat perubahan iklim dan degradasi lingkungan dengan mengabaikannya.
"Kita harus mengubah masyarakat kita menuju pola makan nabati yang lebih berkelanjutan," kata Profesor Andrew Knight seperti dikutip dari Phys, Senin (20/1/2025).
Penelitian tersebut menjelaskan bagaimana permintaan kita yang terus meningkat akan daging dan produk hewani itu merupakan hal yang tidak berkelanjutan.
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) juga memperkirakan bahwa permintaan daging akan berlipat ganda pada tahun 2050.
"Permintaan ini akan mengharuskan sekitar 80 persen hutan dan semak belukar yang ada diubah menjadi lahan yang dikhususkan untuk memelihara hewan. Lintasan seperti itu akan memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi kita dan planet ini," kata Profesor Knight.
Menurut penelitian mereka, peningkatan populasi dunia akan menyebabkan kerawanan pangan dan kelaparan.
Dan model produksi pangan saat ini yakni peternakan hewan tidak efisien dan membutuhkan banyak sumber daya.
Penelitian juga memaparkan strategi untuk memikirkan kembali sistem pangan saat ini, termasuk penghapusan subsidi pemerintah dan pajak yang lebih tinggi atas produk hewani untuk memperhitungkan biaya eksternal dari peternakan hewan.
Baca juga:
Lebih lanjut, studi menemukan manfaat kesehatan dan penghematan yang signifikan ketika mengadopsi pola makan yang pada dasarnya berbasis tanaman.
Menurut penelitian tersebut, konsumsi produk hewani berkontribusi terhadap perkembangan banyak penyakit kronis dan infeksi yang resistan terhadap antibiotik pada manusia.
Infeksi yang resistan terhadap antibiotik membunuh sekitar 700.000 orang di seluruh dunia setiap tahunnya.
"Proliferasi peternakan hewan yang terindustrialisasi telah membawa kita lebih dekat dari sebelumnya dengan wabah zoonosis manusia yang mematikan seperti flu burung dan H1N1 (flu babi)," ungkap Profesor Knight.
Namun perubahan penting pada sistem pangan dan kebiasaan konsumsi kita akan memerlukan perubahan pola pikir global.
"Masa depan umat manusia dan semua kehidupan di planet kita bergantung pada keberlanjutan, dan data menunjukkan bahwa kita tidak akan berhasil dalam isu perubahan iklim kecuali kita mengubah cara kita memproduksi dan mengonsumsi makanan," imbuh Dr. Svetlana Feigin, penulis utama studi ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya