JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (LH) tak mau mengambil pusing berkait keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk keluar dari Paris Agreement atau Perjanjian Paris.
Direktur Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH, Wahyu Marjaka, mengungkapkan hal itu tak berpengaruh terhadap perdagangan karbon internasional yang beberapa waktu lalu resmi dirilis pemerintah.
“Kita kan enggak urusan sama dia (AS), biarin saja. Memang kita semua tergantung pada AS? Enggak lah, banyak partner kita, Eropa, Kanada, Australia kenceng (kerja sama), Asia juga kenceng sama kita,” kata Wahyu saat ditemui usai acara ACEXI 1 Anniversary, Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2025).
Baca juga: Inikah Obat Krisis Iklim? CDR Serap Karbon 99.000 Kali Lebih Cepat dari Lautan
Dirinya mengaku tak khawatir dengan langkah AS hengkang dari perjanjian terkait iklim tersebut. Perdagangan karbon internasional, lanjut Wahyu, bakal terus berjalan sebagai komitmen pemerintah menekan emisi.
“Itu kan sebagai strategi Indonesia untuk memberikan kepastian pencapaian target emisi, dan memberikan insentif yang clear buat seluruh stakeholder. Jadi kalau berhenti justru ngapain,” ujar Wahyu.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, memastikan perdagangan karbon tidak terlalu terdampak dengan langkah Trump.
"Perdagangan karbon tetap akan jalan, karena siapa pun yang mengeluarkan emisi karbon pasti tetap harus memberikan kompensasi. Apakah dia membayar pajak karbon atau membeli karbon kredit. Jadi saya kira tidak ada efek yang besar di situ (perdagangan karbon)," jelas Eddy.
Baca juga: Pembeli Karbon dari Luar Negeri Dapat Sederet Insentif
Eddy menilai, keputusan Trump lebih berdampak terhadap Just Energy Transition Partnership (JETP), skema pendanaan untuk negara berkembang beralih dari energi fosil. Sebab, pemerintah AS yang paling banyak memberikan pendanaan tersebut.
"Apakah itu nanti kemudian Amerika akan menarik komitmennya, membekukan, menunda atau apa saya kira JETP perlu dipertimbangkan secara serius. Karena komitmen pemerintah Amerika sudah demikian," papar Eddy.
Menurut dia, langkah AS keluar dari Perjanjian Paris juga dikarenakan Trump hendak menghidupkan kembali kegiatan berbahan bakar fosil.
Kendati begitu, Eddy memprediksi pelaku industri termasuk di Indonesia tetap berkomitmen melakukan transisi energi.
"Pelaku-pelaku industri memiliki pemegang saham, lembaga-lembaga keuangan yang menuntut mereka untuk melakukan transisi energi. Kalau enggak, pembiayaan ini tidak bisa diberikan lagi," ucap Eddy.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menarik Washington keluar dari Perjanjian Paris sesaat setelah dia dilantik, Senin (20/1/2025).
Baca juga: AS Keluar Perjanjian Paris, Pendanaan Transisi Energi RI Bisa Terganggu
Hal ini menempatkan AS bersama Iran, Libya, dan Yaman sebagai negara-negara tersisa di dunia yang tidak tergabung dalam Perjanjian Paris.
Dalam pakta Paris Agreement, negara-negara penandatanganan sepakat membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, untuk menghindari dampak terburuk dari krisis iklim.
"Saya segera menarik diri dari penipuan perjanjian iklim Paris, yang tidak adil dan sepihak.Amerika Serikat tidak akan menyabotase industri kami sendiri," ungkap Trump sebelum menandatangani perintah penarikan dari perjanjian tersebut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya