KOMPAS.com - Jelang 100 hari masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk batu bara didesak untuk dievaluasi.
Lembaga think tank Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk mengkaji dampak kebijakan tersebut terhadap akselerasi pengembangan energi terbarukan.
DMO adalah kewajiban yang dibebankan badan usaha untuk menjual batu bara ke dalam negeri dengan batas jumlah dan harga yang dipatok pemerintah.
Baca juga: IEA: Permintaan Batu Bara Global Bakal Tetap Stabil Hingga 2027
Kebijakan DMO membuat harga batu bara lebih rendah sehingga berpengaruh terhadap pengembangan energi terbarukan.
Pasalnya, lembaga think tank tersebut menilai DMO menjadi penghambat keekonomian energi terbarukan.
Selama 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, IESR menilai reformasi kebijakan DMO batu bara kepada PLN belum ada di radar para pembuat kebijakan.
IESR merekomendasikan, daripada mempertahankan subsidi batu bara dalam bentuk DMO senilai 70 dollar AS per ton kepada PLN, sebaliknya pemerintah membuat skema pendanaan baru untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia.
Baca juga: Ada Pengaruh China, Permintaan Batu Bara Global Alami Titik Jenuh Hingga 2027
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, contoh pendanaan transisi energi bisa dilakukan dengan cara memungut antara 2,5 sampai 5 persen dari nilai batu bara yang diekspor.
IESR memperkirakan pemerintah dapat menghimpun 1,25 sampai 2,5 miliar dollar AS per tahun dari pungutan ini.
"Dana ini dapat membantu pembiayaan investasi pembangkit energi terbarukan dan transmisi yang dilakukan oleh PLN dan pemilik Wilus (Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) lainnya," kata Fabby dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (22/1/2025).
Lebih jauh, Fabby menekankan pentingnya penyediaan "arena pertarungan" yang adil untuk pemanfaatan energi terbarukan dan bahan bakar fosil. Caranya adalah dengan mengurangi subsidi energi fosil secara bertahap.
Baca juga: Kapasitas PLTU Captive RI Diprediksi Salip Pembangkit Batu Bara Australia
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 2024, pemerintah menghabiskan anggaran Rp 386,9 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi fosil, termasuk bahan bakar minyak (BBM), gas alam yang dicairkan atau LPG, dan listrik.
Sementara, penggunaan energi fosil, termasuk BBM berkualitas rendah, telah meningkatkan beban biaya kesehatan hingga Rp 1,2 triliun pada 2023 untuk wilayah Jakarta saja akibat tingginya polusi.
Selama 100 hari ini, IESR menilai pemerintah Prabowo-Gibran masih belum memiliki strategi penurunan subsidi energi kotor dan mengatasi dampak harga energi jika subsidi dikurangi secara bertahap dan dibuat tepat sasaran.
Fabby juga menambahkan agar pemerintah perlu secara serius mencermati tren pasar global yang menuntut produk barang maupun jasa yang rendah emisi.
"Permintaan tersebut mau tak mau menuntut listrik yang bersih dan rendah karbon. Kemampuan negara menyediakan listrik rendah karbon akan menentukan daya tarik investasi sebuah negara," ucap Fabby.
Baca juga: PLN IP Manfaatkan Limbah Uang Kertas BI untuk Campuran PLTU Batu Bara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya