Oleh Budiyanto Dwi Prasetyo*
KOMPAS.com - Indonesia merupakan rumah bagi 157 jenis (varietas) bambu yang tersebar di berbagai pulau Nusantara. Jumlah itu berporsi lebih dari 10 persen dari total jenis bambu yang ada di dunia.
Bambu pun tak lepas dari keseharian masyarakat. Sejak dulu, bambu dijadikan bahan baku infrastruktur skala rumah tangga seperti rumah, kandang, dan bangunan-bangunan simbol adat.
Penelitian saya di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) menemukan, budi daya bambu juga bisa menjadi salah satu usaha yang menguntungkan bagi masyarakat setempat.
Sejak hampir satu dekade lalu, mereka membudidayakan bambu secara berkelanjutan dengan metode hutan bambu lestari (HBL)—sistem penanaman hingga pemanenan bambu yang ramah lingkungan. Masyarakat Flores kemudian menyuplai hasilnya ke industri laminasi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku bangunan modern.
Budi daya ini menciptakan manfaat lingkungan seperti pencegahan erosi dan penyerapan polusi di tanah, air, dan udara.
Menariknya, bambu yang dipanen warga setempat merupakan bambu rakyat. Bambu tersebut tumbuh di tanah-tanah milik perorangan ataupun milik suku tertentu secara komunal.
Flores menjadi salah satu bukti bagaimana pengelolaan bambu berbasis warga bisa menguntungkan sekaligus ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ini merupakan peluang bagi warga daerah lainnya untuk menerapkan praktik serupa, terutama di sentra produksi bambu lainnya seperti Jawa, Sumatra, dan daerah lainnya di Bali maupun Nusa Tenggara.
Bambu lestari ala Flores
Pembudi daya bambu perlu memikirkan urusan keberlanjutan suplai agar bisa masuk ke dalam rantai pasar. Intinya, bambu dapat dipanen secara periodik dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Namun, keberlanjutan ini berpotensi tak tercapai apabila bambu dieksploitasi secara berlebihan. Misalnya panen bambu dilakukan melalui praktik asal tebang atau penanaman serta pemeliharaan yang tidak tepat. Bambu bisa mati bahkan punah.
Baca juga: Ilmuwan Kembangkan Semen Berkelanjutan, Seperti Apa?
Di Kabupaten Ngada, Flores, masyarakat berupaya menjawab tantangan tersebut dengan menerapkan metode Hutan Bambu Lestari (HBL) dalam budi daya bambu betung (Dendrocalamus asper).
Metode ini dikenalkan sejak 2016 oleh Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL), sebuah organisasi nirlaba berbasis di Bali dan Flores. Selain mengenalkan metode lestari, mereka juga memastikan semua bambu betung yang dipasok ke industri sudah memenuhi syarat dan kriteria dalam HBL.
Metode ini terdiri dari empat proses utama yakni survei, pemberian kode, penimbunan, dan pemanenan lestari.
Tahap proses survei bertujuan untuk memetakan areal hutan bambu untuk penerapan HBL. Ini termasuk sosialisasi kepada pemilik bambu bahwa rumpun-rumpun bambunya potensial untuk dikelola secara HBL.
Proses pemberian kode dilakukan setelah luasan area hutan bambu sasaran dipetakan. Tujuannya untuk menghitung jumlah rumpun yang ada di dalam areal HBL termasuk jumlah batang tiap rumpun dan umur tiap batang bambu. Di tiap batang bambu dituliskan tanda berupa nama pemilik, tahun tebang, dan nomor rumpun.
Adapun, proses pengkodean sangat penting sebagai data dasar bagi pemilik bambu untuk menunjukkan jumlah rumpun bambu yang mereka miliki. Ini termasuk jumlah batang yang akan dipanen setiap tahun hingga empat tahun ke depan.
Setelah pemberian kode, beralih ke tahap penimbunan yang berhubungan dengan pemeliharaan untuk memberikan perlakuan agar rumpun bambu tumbuh sehat dan subur. Akar rimpang pada setiap rumpun bambu ditimbun menggunakan tanah yang berada tujuh meter dari akar rimpang. Penimbunan juga bisa dilakukan di tanah yang berada tepat di bawah ujung tutupan daun bambu (kanopi).
Sementara itu, panen lestari dilakukan melalui penebangan bambu sesuai umur (empat - lima tahun) dan secara periodik. Tujuannya adalah untuk memberikan waktu jeda bagi tiap rumpun bambu untuk melakukan regenerasi. Rumpun-rumpun yang batang bambunya ditebang sesuai umur akan semakin sehat sehingga panennya berkualitas.
Baca juga: Mahasiswa Desa Lingkar Tambang Raih Beasiswa MHU: Menuju Masa Depan Cerah dan Berkelanjutan
Selain itu, dalam satu rumpun bambu sehat biasanya terdiri dari enam keluarga rimpang. Tiap keluarga rimpang punya enam batang bambu yang terdiri dari buyut, nenek, ibu, anak, cucu, dan bayi (rebung). Jika sebuah rumpun bambu punya lebih dari 36 batang atau kurang dari 36 batang maka itu disebut rumpun tak sehat.
Mengukuhkan bambu rakyat
Metode HBL di Ngada memang bermanfaat secara ekologis. Namun, berdasarkan pengamatan saya, metode yang diterapkan YBLL ternyata memerlukan ongkos untuk membayar buruh-buruh HBL. Di sisi lain, pemilik bambu hanya menerima uang hasil penjualan bambu dan menyaksikan bambu-bambu di tanah-tanah miliknya dikelola para buruh HBL.
Ongkos buruh tersebut sebenarnya bisa dialihkan ke petani pemilik bambu apabila mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan metode HBL. Harapannya, warga bisa mengelola bambu di lahan sendiri dan menerima pendapatan yang lebih banyak dari keringat mereka sendiri.
Proyek saya pada 2022 bersama masyarakat adat Sao Neguwula di Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, NTT telah menjadi bukti bagaimana transfer pengetahuan dapat menguntungkan komunitas adat pemilik hutan bambu betung.
Di titik ini, secara sosial, bambu telah menyatukan keluarga-keluarga yang terhimpun dalam rumah adat atau sao. Sao merupakan unit terkecil kedua (extended family) setelah keluarga inti (nuclear family) dalam struktur masyarakat adat Ngada. Bambu juga memperkuat modal sosial berupa kepercayaan dan kerekatan sosial.
Setelah menerapkan metode HBL secara langsung, pendapatan mereka dari bambu naik dari Rp20 ribu menjadi Rp50 ribu per batang. Ini terjadi karena komponen upah buruh HBL dialihkan kepada harga bambu yang dikelola petani pemilik bambu. Dalam satu kali panen di satu hutan bambu, petani yang juga pemilik bambu bisa menyuplai 500-800 batang bambu.
Keuntungan lainnya dari metode HBL yang diterapkan petani bambu adalah kepemilikan data mendetail tentang luasan area HBL, jumlah rumpun, hingga jumlah batang dan umur bambu di tanah sao.
Data bambu penting bagi petani pemilik bambu. Selain untuk memastikan luasan HBL milik mereka, data juga bermanfaat untuk estimasi biaya dan tenaga perawatan, perlakuan penimbunan, serta perkiraan jumlah batang yang akan dipanen setiap tahun.
Sebelumnya, data itu ada di tangan buruh-buruh HBL. Para petani pemilik bambu tidak memiliki data tersebut.
Modal untuk infrastruktur hijau
Penerapan HBL telah memberikan proyeksi ke depan tentang jaminan keberlangsungan ekosistem bambu yang merupakan hulu infrastruktur hijau. Termasuk di dalamnya jaminan akan keberlangsungan jasa lingkungan yang diuntungkan dari keberadaan bambu, seperti air, iklim mikro, dan pencegah erosi.
Selain itu, bambu dengan metode HBL dapat menjaga nilai ekonomi melalui ketersediaan pasokan bambu bagi industri pengolahan bambu modern sekaligus nilai sosial budaya yang lekat dengan bambu.
Dapat dirasakan jelas bahwa bambu dapat menjadi sumber daya yang cocok bagi pembangunan berbasis rakyat yang menerapkan konsep infrastruktur hijau nan ramah Bumi.
Baca juga: Generasi Muda Kehilangan Minat pada Investasi Berkelanjutan
*Peneliti Sosiologi Lingkungan pada Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya