KOMPAS.com - Operator bursa energi Bursa listrik Australian Energy Market Operator (AEMO) mengumumkan, ketergantungan negara tersebut terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara mencapai titik terendah.
Menurut data National Electricity Market (NEM), untuk pertama kalinya, produksi listrik dari PLTU batu bara menyumbang kurang dari 50 persen dari permintaan listrik di "Negeri Kanguru".
Pada saat yang sama, produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap melonjak 18 persen. Di samping itu, produksi listrik dari PLTS berskala besar naik 9 persen.
Baca juga: Lembaga Keuangan Diminta Setop Pembiayaan Wacana Ekspansi Batu Bara
"Kenaikan output PLTS atap, ditambah dengan PLTU batu bara yang rendah, mengakibatkan PLTU batu bara menyumbang kurang dari 50 persen dari total pembangkit NEM untuk pertama kalinya," kata Violette Mouchaileh, seorang pejabat senior AEMO, sebagaimana dilansir AFP, Rabu (29/1/2025).
Pada kuartal keempat tahun 2024, sumber energi terbarukan memasok listrik sebesar 46 persen. Bahkan pada 6 November, produksi listrik dari energi terbarukan menyuplai 75,6 persen.
AEMO menyatakan, hal tersebut membuat emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor ketenagalistrikan mencapai rekor terendahnya.
Di sisi lain, kenaikan produksi listrik dari energi tersebut diiringi dengan kenaikan tarif. Hal itu disebabkan tingginya permintaan listrik selama musim dingin.
Baca juga: Transisi Energi Masih Lambat, Pengamat: RI Masih Ketergantungan Batu Bara
Di satu sisi, meski menjadi salah satu pengekspor batu bara terbesar di dunia, Australia berjanji untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2050.
Pada 2030, Australia menargetkan dapat memangkas 43 persen emisinya dibandingkan emisi tahun 2005.
Untuk mencapai target-target tersebut, "Negeri Kanguru" membidik dapat memasang 82 persen energi terbarukan pada 2030.
Baca juga: Produksi Listrik PLTS Lampaui PLTU Batu Bara di Uni Eropa
Menteri Perubahan Iklim dan Energi Australia Chris Bowen mengatakan, data yang disampaikan AEMO menjadi pesan yang jelas bahwa batu bara tak bisa diandalkan lagi.
Kenaikan tarif listrik yang terjadi menunjukkan perlunya lebih banyak lagi pembangkit listrik energi terbarukan dan keandalan transmisi.
"Infrastruktur transmisi baru sangat penting untuk menjaga harga tetap rendah," ujar Bowen dikutip dari Financial Review.
Baca juga: 100 Hari Prabowo Gibran, DMO Batu Bara Didesak Dievaluasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya