SAAT dunia menghadapi krisis iklim yang semakin nyata, langkah mundurnya Amerika Serikat dari "Paris Agreement" di bawah kepemimpinan Donald Trump menjadi pukulan bagi upaya global dalam menekan emisi karbon.
Keputusan tersebut memperlihatkan bagaimana politik domestik suatu negara dapat menghambat inisiatif global dalam menangani perubahan iklim.
Di tengah ketidakpastian global ini, Indonesia menghadapi dilema besar: tetap berpegang teguh pada komitmen pengurangan emisi atau menyesuaikan strategi demi menjaga stabilitas ekonomi dan energi nasional.
Pemerintah Indonesia, dalam berbagai pernyataannya, menunjukkan ambisi besar untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) guna mencapai bauran energi sebesar 23 persen pada 2025.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan berbagai hambatan, mulai dari ketergantungan yang masih tinggi pada energi fosil hingga kurangnya investasi dalam infrastruktur energi hijau.
Di sinilah pendekatan "gas dan rem"— strategi yang mengombinasikan percepatan dan perlambatan dalam implementasi kebijakan—menjadi sangat relevan.
Pertanyaannya, sejauh mana pendekatan ini mampu membawa Indonesia keluar dari ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan?
Sejak menandatangani "Paris Agreement" pada 2016, Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam menekan emisi karbon.
Rencana pembangunan nasional menempatkan energi terbarukan sebagai prioritas, dengan berbagai kebijakan yang mendukung, seperti Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Namun, hingga saat ini, realisasi target masih jauh dari harapan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa bauran EBT pada 2023 baru mencapai sekitar 14 persen, jauh dari target 23 persen yang seharusnya dicapai dalam dua tahun ke depan.
Kendala utama dalam transisi energi ini mencakup aspek finansial, regulasi, dan teknis. Pendanaan proyek EBT masih didominasi investasi asing, yang cenderung berhati-hati mengingat ketidakpastian kebijakan di Indonesia.
Selain itu, dominasi perusahaan listrik negara (PLN) dalam sektor energi juga menjadi faktor penghambat, karena model bisnis yang masih bergantung pada batu bara sebagai sumber utama listrik nasional.
Faktor lainnya adalah regulasi yang sering berubah-ubah, menciptakan ketidakpastian bagi investor dan pelaku usaha dalam sektor EBT.
Baca juga: AS Mundur dari Paris Agreement, Bahlil Sebut Bikin RI Dilema Kembangkan EBT
Strategi "gas dan rem" dalam pengembangan energi terbarukan mencerminkan dinamika kebijakan yang sering kali bersifat kontradiktif.
Di satu sisi, pemerintah mengakselerasi investasi dalam proyek-proyek EBT seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan bioenergi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya