KOMPAS.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia melaporkan, sepanjang 2024 ada 73 jurnalis yang mengalami kekerasan. Bahkan dalam kurun waktu tersebut, satu jurnalis dibunuh.
Laporan tersebut mengemuka dalam catatan tahunan AJI berjudul Keluar Mulut Harimau, Masuk Mulut Buaya yang dirilis baru-baru ini.
Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida mengatakan, judul tersebut dipilih karena banyaknya kasus kekerasan jurnalis di masa pemerintahan sebelumnya dan tidak adanya sinyal perbaikan terhadap keselamatan jurnalis di era pemerintahan baru.
Baca juga: Penanganan Kekerasan Seksual Tak Selesai dengan Menikahkan Korban
Nany menuturkan, meski jumlah jurnalis yang mengalami kekerasan pada 2024 menurun dibandingkan 2023, kondisi tersebut tidak mencerminkan perbaikan.
"Meski menurun, bukan berarti lebih baik. Karena harusnya zero tolerance (toleransi nol) untuk kekerasan terhadap jurnalis," kata Nany dalam konferensi daring, Kamis (30/1/2025).
Dari jumlah tersebut, kekerasan fisik serta teror dan intimidasi menjadi jenis kekerasan yang dialami jurnalis sepanjang 2024 masing-masing 19 dan 17 kasus.
Selain itu, serangan digital juga menjadi kekerasan yang paling banyak tercatat pada 2024 dengan 10 kasus.
Baca juga: Studi: Perubahan Iklim Tingkatkan Kekerasan Terhadap Perempuan
Sementara itu, satu kasus pembunuhan menimpa jurnalis Tribrata TV yakni Rico Sempurna Pasaribu yang dibakar rumahnya di Karo, Sumatera Utara.
Di satu sisi, lokasi kekerasan terhadap jurnalis terjadi di banyak provinsi di Indonesia mulai dari provinsi di Jawa, Sulawesi, Maluku, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, hingga Papua.
Di sisi lain, masih menurut catatan AJI, polisi menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis terbanyak dengan 19 kasus.
Disusul oleh anggota TNI dan warga atau organisasi masyarakat (ormas) masing-masing 11 kasus.
Baca juga: Faktor Ekonomi Jadi Penyebab Kekerasan, Perempuan Wajib Berdaya
Selain itu, pelaku kekerasan terhadap jurnalis juga banyak berupa orang tak dikenal dengan 10 kasus.
"Pelaku kekerasan dari orang tak dikenal erat kaitannya dengan serangan digital, seperti pengambilalihan akun jurnalis," tutur Nany.
Nany menyampaikan, masalah lain yang dihadapi jurnalis yang mendapatkan kekerasan adalah macetnya proses hukum terhadap pelaku.
Dari banyak kasus yang diadvokasi oleh AJI Indonesia, Komite Keselamatan Jurnalis, maupun lembaga lain, Nany berujar masih banyak yang belum diselesaikan oleh pihak berwajib.
Baca juga: 7,6 Juta Anak Indonesia Alami Kekerasan Sepanjang 2023
"Banyak kasus yang macet. Kami berharap pemerintah segera menyelesaikan kasus-kasus ini," ujar Nany.
Nany mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum kepada jurnalis dalam melakukan pekerjaannya. Pasalnya, payung hukum yang ada saat ini baru sebatas pengaturan berita.
Untuk mencegah impunitas atau kekebalan hukum terhadap pelaku kekerasan, Nany mendesak penegakan hukum yang kuat.
Di samping itu, Nany menilai adanya perlindungan hukum terhadap media alternatif dan independen untuk memperkuat kebebasan pers.
Baca juga: Masuki Era Digital, Kekerasan Gender Berbasis Online Makin Mengancam
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya