RIBUT-ribut pagar laut yang terjadi di Tangerang, Banten, sepanjang lebih dari 30 Km menimbulkan kegaduhan banyak pihak, baik di kalangan pemerintahan, DPR, LSM dan masyarakat luas.
Masyarakat umum dibuat heran kawasan laut yang berjarak lebih dari satu kilometer dari bibir pantai dipagari dengan bambu sepanjang garis pantai hampir setengah dari jalan tol Jagorawi.
Area tersebut diklaim ada pemiliknya dengan bukti sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (HGB).
Kepemilikan dan pagar laut telah dinyatakan ilegal dan dicabut haknya (SHM/SHGB) oleh Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid.
Alasannya jelas dan tegas kawasan laut menjadi hak negara, meskipun tadinya bekas tambak/empang karena kawasan yang diributkan sekarang ini secara eksisting sudah menjadi lautan.
Empang/tambak yang bersertifikat tersebut sudah dianggap menjadi tanah hilang dan menjadi lautan sehingga menurut regulasi hak kepemilikan tersebut telah hilang.
Baca juga: Patok-patok Laut
Oleh karena itu, wajar apabila klaim kepemilikan kawasan laut dengan pagarnya dianggap ilegal oleh banyak kalangan.
Kasus pagar laut ini terungkap karena lokasi (locus delicti) tidak jauh dari Jakarta, yakni di Tangerang (Banten) dan selalu diekspos secara besar-besaran oleh media massa sehingga cepat terungkap kepermukaan dan menjadi perhatian banyak masyarakat Indonesia.
Padahal kalau diingat, luas kawasan laut yang diributkan tidak lebih dari 1000 ha (tepatnya 537,5 hektare atau 5.375.000 meter persegi).
Kasus serupa tidak hanya terjadi di lautan saja, tetapi juga terjadi di daratan (bentang darat), khususnya di kawasan hutan untuk perkebunan sawit.
Area ilegal dengan sertifikat hak guna usaha (SHGU) tersebut luasnya jauh lebih besar, bahkan mencapai ratusan ribu hektare kawasan hutan yang dijadikan perkebunan sawit.
Sayangnya kasus kebun sawit ilegal ini, yang melibatkan kawasan hutan jutaan hektare tidak terpantau secara luas karena lokasi jauh dari Jakarta, khususnya di Kalimantan dan Sumatera.
Kasus sawit ilegal di kawasan hutan mulai terjadi sejak adanya perubahan rezim dari Orde Baru ke era Reformasi dengan otonomi daerahnya tahun 1998.
Sejak Undang-Undang (UU) Pemerintah No 32/2004 terbit, kewenangan kehutanan banyak dilimpahkan ke daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Kabupaten yang mempunyai potensi sumber daya alam (SDA) hutan besar ramai-ramai membentuk dinas kehutanan untuk menjaring pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) dan mengelola dana bagi hasil (DBH) sektor kehutanan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya