Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Aliman Shahmi
Dosen

Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar

Gas dan Rem Energi Terbarukan: Ambisi Vs Realitas Indonesia

Kompas.com - 31/01/2025, 08:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT dunia menghadapi krisis iklim yang semakin nyata, langkah mundurnya Amerika Serikat dari "Paris Agreement" di bawah kepemimpinan Donald Trump menjadi pukulan bagi upaya global dalam menekan emisi karbon.

Keputusan tersebut memperlihatkan bagaimana politik domestik suatu negara dapat menghambat inisiatif global dalam menangani perubahan iklim.

Di tengah ketidakpastian global ini, Indonesia menghadapi dilema besar: tetap berpegang teguh pada komitmen pengurangan emisi atau menyesuaikan strategi demi menjaga stabilitas ekonomi dan energi nasional.

Pemerintah Indonesia, dalam berbagai pernyataannya, menunjukkan ambisi besar untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) guna mencapai bauran energi sebesar 23 persen pada 2025.

Baca juga: Kebijakan Trump yang Kontroversial: Keluar dari Paris Agreement dan WHO, Bebaskan 1.583 Perusuh Gedung Capitol

Namun, realitas di lapangan menunjukkan berbagai hambatan, mulai dari ketergantungan yang masih tinggi pada energi fosil hingga kurangnya investasi dalam infrastruktur energi hijau.

Di sinilah pendekatan "gas dan rem"— strategi yang mengombinasikan percepatan dan perlambatan dalam implementasi kebijakan—menjadi sangat relevan.

Pertanyaannya, sejauh mana pendekatan ini mampu membawa Indonesia keluar dari ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan?

Komitmen dan tantangan transisi energi

Sejak menandatangani "Paris Agreement" pada 2016, Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam menekan emisi karbon.

Rencana pembangunan nasional menempatkan energi terbarukan sebagai prioritas, dengan berbagai kebijakan yang mendukung, seperti Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Namun, hingga saat ini, realisasi target masih jauh dari harapan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa bauran EBT pada 2023 baru mencapai sekitar 14 persen, jauh dari target 23 persen yang seharusnya dicapai dalam dua tahun ke depan.

Kendala utama dalam transisi energi ini mencakup aspek finansial, regulasi, dan teknis. Pendanaan proyek EBT masih didominasi investasi asing, yang cenderung berhati-hati mengingat ketidakpastian kebijakan di Indonesia.

Selain itu, dominasi perusahaan listrik negara (PLN) dalam sektor energi juga menjadi faktor penghambat, karena model bisnis yang masih bergantung pada batu bara sebagai sumber utama listrik nasional.

Faktor lainnya adalah regulasi yang sering berubah-ubah, menciptakan ketidakpastian bagi investor dan pelaku usaha dalam sektor EBT.

Baca juga: AS Mundur dari Paris Agreement, Bahlil Sebut Bikin RI Dilema Kembangkan EBT

Strategi "gas dan rem" dalam pengembangan energi terbarukan mencerminkan dinamika kebijakan yang sering kali bersifat kontradiktif.

Di satu sisi, pemerintah mengakselerasi investasi dalam proyek-proyek EBT seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan bioenergi.

Namun, di sisi lain, subsidi energi fosil masih terus berlanjut, memberikan sinyal yang berlawanan bagi pasar energi.

Sebagai contoh, pemerintah telah menetapkan tarif listrik berbasis EBT yang lebih kompetitif melalui Peraturan Menteri ESDM No. 50 Tahun 2017.

Namun, di saat sama, kebijakan subsidi batu bara tetap dipertahankan, menjadikan energi fosil lebih menarik secara ekonomi dibandingkan energi terbarukan.

Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) yang mengharuskan perusahaan batu bara menjual sebagian produksinya dengan harga murah ke PLN adalah salah satu bentuk "rem" dalam transisi energi, yang secara tidak langsung melemahkan daya saing energi terbarukan.

Tidak hanya itu, proyek gasifikasi batu bara sebagai solusi energi transisi juga menuai kritik. Program ini digadang-gadang sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG, tetapi pada kenyataannya tetap bergantung pada batu bara, yang merupakan sumber energi kotor.

Dengan kata lain, alih-alih mempercepat transisi ke energi hijau, kebijakan ini justru memperpanjang usia energi fosil dalam bauran energi nasional.

Transisi yang lebih konsisten

Agar Indonesia dapat keluar dari dilema "gas dan rem" dalam transisi energi, diperlukan pendekatan yang lebih konsisten dan berkelanjutan.

Salah satu langkah penting yang dapat diambil adalah secara bertahap menghapus subsidi energi fosil.

Pengalihan anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk subsidi batu bara dan bahan bakar fosil dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan infrastruktur energi baru dan terbarukan.

Selain itu, stabilitas regulasi menjadi faktor krusial dalam menarik investasi di sektor energi hijau. Kepercayaan investor akan meningkat jika kebijakan yang diterapkan lebih jelas dan insentif fiskal yang menarik diberikan secara konsisten.

Tidak kalah pentingnya, Indonesia juga perlu melakukan diversifikasi sumber energi terbarukan.

Potensi energi panas bumi dan biomassa, misalnya, dapat dimanfaatkan lebih optimal mengingat pasokannya yang lebih stabil dibandingkan energi intermiten seperti tenaga surya.

Kemajuan teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi faktor utama dalam mendukung transisi energi.

Kerja sama dengan universitas, lembaga riset, dan industri dapat mempercepat inovasi serta meningkatkan efisiensi dalam pengembangan energi hijau.

Partisipasi swasta dan masyarakat juga perlu didorong, salah satunya melalui model bisnis berbasis komunitas, seperti pemanfaatan solar rooftop yang dikelola masyarakat secara mandiri.

Pendekatan "gas dan rem" dalam pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia mencerminkan ketidakkonsistenan dalam kebijakan transisi energi.

Di satu sisi, pemerintah berambisi mempercepat pengembangan EBT, tetapi di sisi lain masih mempertahankan subsidi energi fosil dan memberikan insentif bagi industri batu bara.

Kondisi ini tidak hanya memperlambat transisi energi, tetapi juga menciptakan ketidakpastian bagi investor dan pelaku industri.

Untuk keluar dari jebakan ini, Indonesia perlu mengadopsi kebijakan yang lebih progresif dan konsisten dalam mendukung energi hijau.

Langkah-langkah seperti penghapusan bertahap subsidi energi fosil, insentif investasi, dan penguatan riset serta inovasi dalam sektor energi harus menjadi prioritas.

Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memosisikan diri sebagai pemimpin dalam transisi energi di kawasan, sekaligus memastikan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan bagi generasi mendatang.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Kabul, Afghanistan: Kota Pertama di Dunia yang Mungkin Bakal Kehabisan Air
Kabul, Afghanistan: Kota Pertama di Dunia yang Mungkin Bakal Kehabisan Air
Swasta
Menteri LH: Teknologi Kunci Atasi Karhutla, Deteksi Dini hingga Modifikasi Cuaca
Menteri LH: Teknologi Kunci Atasi Karhutla, Deteksi Dini hingga Modifikasi Cuaca
Pemerintah
Tinggal 3 Tahun, Kita Kehabisan Waktu Atasi Krisis Iklim jika Tak Gerak Cepat
Tinggal 3 Tahun, Kita Kehabisan Waktu Atasi Krisis Iklim jika Tak Gerak Cepat
LSM/Figur
Dukung Komitmen Iklim Nasional, TSE Group Resmikan Pembangkit Biogas Kurangi Emisi dan Konsumsi Solar
Dukung Komitmen Iklim Nasional, TSE Group Resmikan Pembangkit Biogas Kurangi Emisi dan Konsumsi Solar
Swasta
eMaggot, Platform Jual Beli Online Maggot untuk Pengolahan Sampah
eMaggot, Platform Jual Beli Online Maggot untuk Pengolahan Sampah
Pemerintah
4.700 Hektare Bekas Lahan Sawit di Tesso Nilo Kembali Ditanami
4.700 Hektare Bekas Lahan Sawit di Tesso Nilo Kembali Ditanami
Pemerintah
Perkuat Sabuk Hijau Hadapi Krisis Iklim, Pemprov DKI Jakarta Tanam 10.000 Mangrove di 4 Pesisir
Perkuat Sabuk Hijau Hadapi Krisis Iklim, Pemprov DKI Jakarta Tanam 10.000 Mangrove di 4 Pesisir
Pemerintah
Dalam 3 Bulan, 4700 Hektare Sawit di Tesso Nilo Telah Dimusnahkan
Dalam 3 Bulan, 4700 Hektare Sawit di Tesso Nilo Telah Dimusnahkan
Pemerintah
Terobosan Formula E, Olahraga Pertama dengan Sertifikasi Net Zero BSI
Terobosan Formula E, Olahraga Pertama dengan Sertifikasi Net Zero BSI
Swasta
Pakar Katakan, Intervensi Iklim di Laut Sia-sia jika Tata Kelolanya Masih Sama Buruknya
Pakar Katakan, Intervensi Iklim di Laut Sia-sia jika Tata Kelolanya Masih Sama Buruknya
LSM/Figur
KLH Luncurkan Waste Crisis Center, Pusat Layanan Pengelolaan Sampah
KLH Luncurkan Waste Crisis Center, Pusat Layanan Pengelolaan Sampah
Pemerintah
ICDX: REC Bukan Cuma Sertifikat, Bisa Jadi Stimulus Capai Target EBT
ICDX: REC Bukan Cuma Sertifikat, Bisa Jadi Stimulus Capai Target EBT
Swasta
Terjadi di Seismic Gap, Gempa Rusia Alarm Bahaya buat Indonesia
Terjadi di Seismic Gap, Gempa Rusia Alarm Bahaya buat Indonesia
LSM/Figur
Ahli Ungkap 2 Hal Penting dalam Konservasi Harimau, Harus Jadi Indikator Kemajuan
Ahli Ungkap 2 Hal Penting dalam Konservasi Harimau, Harus Jadi Indikator Kemajuan
LSM/Figur
KKP Siapkan Peta Nasional Terumbu Karang dan Padang Lamun, Diluncurkan Akhir 2025
KKP Siapkan Peta Nasional Terumbu Karang dan Padang Lamun, Diluncurkan Akhir 2025
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau