Namun, di sisi lain, subsidi energi fosil masih terus berlanjut, memberikan sinyal yang berlawanan bagi pasar energi.
Sebagai contoh, pemerintah telah menetapkan tarif listrik berbasis EBT yang lebih kompetitif melalui Peraturan Menteri ESDM No. 50 Tahun 2017.
Namun, di saat sama, kebijakan subsidi batu bara tetap dipertahankan, menjadikan energi fosil lebih menarik secara ekonomi dibandingkan energi terbarukan.
Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) yang mengharuskan perusahaan batu bara menjual sebagian produksinya dengan harga murah ke PLN adalah salah satu bentuk "rem" dalam transisi energi, yang secara tidak langsung melemahkan daya saing energi terbarukan.
Tidak hanya itu, proyek gasifikasi batu bara sebagai solusi energi transisi juga menuai kritik. Program ini digadang-gadang sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG, tetapi pada kenyataannya tetap bergantung pada batu bara, yang merupakan sumber energi kotor.
Dengan kata lain, alih-alih mempercepat transisi ke energi hijau, kebijakan ini justru memperpanjang usia energi fosil dalam bauran energi nasional.
Agar Indonesia dapat keluar dari dilema "gas dan rem" dalam transisi energi, diperlukan pendekatan yang lebih konsisten dan berkelanjutan.
Salah satu langkah penting yang dapat diambil adalah secara bertahap menghapus subsidi energi fosil.
Pengalihan anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk subsidi batu bara dan bahan bakar fosil dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan infrastruktur energi baru dan terbarukan.
Selain itu, stabilitas regulasi menjadi faktor krusial dalam menarik investasi di sektor energi hijau. Kepercayaan investor akan meningkat jika kebijakan yang diterapkan lebih jelas dan insentif fiskal yang menarik diberikan secara konsisten.
Tidak kalah pentingnya, Indonesia juga perlu melakukan diversifikasi sumber energi terbarukan.
Potensi energi panas bumi dan biomassa, misalnya, dapat dimanfaatkan lebih optimal mengingat pasokannya yang lebih stabil dibandingkan energi intermiten seperti tenaga surya.
Kemajuan teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi faktor utama dalam mendukung transisi energi.
Kerja sama dengan universitas, lembaga riset, dan industri dapat mempercepat inovasi serta meningkatkan efisiensi dalam pengembangan energi hijau.
Partisipasi swasta dan masyarakat juga perlu didorong, salah satunya melalui model bisnis berbasis komunitas, seperti pemanfaatan solar rooftop yang dikelola masyarakat secara mandiri.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya