MENTERI Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ART/BPN), Nusron Wahid, menyebut sebanyak 194 perusahaan pemilik Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit dengan luas lahan 1.081.022 hektare (ha) belum mengajukan hak atas tanah (HAT) per Januari 2025.
Bahkan, Nusron menduga perusahaan-perusahaan beroperasi di atas kawasan hutan. Perusahaan tersebut dianggap tidak memiliki niat baik untuk mengurus HAT ke BPN wilayah.
"Kemudian nabrak hutan, dan sesungguhnya memang hutan, ada hutan lindung, tapi ditanami kelapa sawit dan tidak punya izin," kata Nusron dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Kehebohan Kementerian ATR/BPN soal kebun sawit dalam kawasan hutan lindung kenapa baru sekarang setelah kementerian ini dipimpin oleh Nusron Wahid?
Masalah ini sudah diungkap oleh Komisi IV DPR RI periode 2019-2024, dalam suatu rapat kerja dengar pendapat (RDP) dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Baca juga: HGB Pagar Laut dan HGU Kebun Sawit Ilegal
Menurut KLHK, saat ini terdapat 3,1 juta-3,2 juta hektare kebun sawit di kawasan hutan. Sementara Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021, menyebut 3,4 juta hektare.
Kebun sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.
Masalah kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan sebenarnya lebih pelik dibandingkan dengan HGB pagar laut.
Misalnya pagar laut di perairan Tangerang, Banten, hanya melibatkan kawasan pantai kurang dari 1.000 hektare. Sementara kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan luasnya mencapai jutaan hektare.
Akibat eufora otonomi daerah pasca-Orde Baru dan pembiaran pemerintah pusat dalam hal pengawasan kawasan hutan di daerah lebih dari dua dasawarsa menyebabkan kawasan hutan dijarah tidak saja oleh masyarakat, tetapi juga korporasi/perusahaan untuk dijadikan kebun sawit.
Penjarahan ini tidak hanya terjadi dalam kawasan hutan produksi yang masih diperbolehkan untuk kegiatan budidaya karena masuk dalam kawasan budidaya, tetapi juga masuk dalam kawasan hutan yang tabu dan tidak diperbolehkan untuk budidaya, yakni dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
Jumlah kebun sawit ilegal yang masuk dalam kawasan lindung (hutan konservasi dan lindung) hampir mencapai 290.640 hektare.
Penyelesaian kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan lindung maupun hutan konservasi tidak dapat disamakan dengan kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan produksi dengan jalan pemutihan status kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam PP No 24/2021 tentang tata cara sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak (PNPB) yang berasal dari denda administratif dari di bidang kehutanan.
Baca juga: Mungkinkah Lahan Kebun Sawit Diperluas?
Lalu, bagaimana nasib penyelesaian 194 korporasi/perusahaan yang telah mempunyai izin usaha perkebunan (IUP) seluas 1.081.022 ha, yang sebagian kawasannya menabrak kawasan hutan lindung?
Berdasar pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, jelas bahwa korporasi/perusahaan yang dimaksud hanya mempunyai izin usaha perkebunan (IUP) dari pemerintah daerah saja dan belum memegang izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.
IUP yang dipegang hanya terbatas pada/dalam kawasan hutan produksi saja. Tidak mungkin/tidak masuk akal apabila pemerintah daerah berani mengeluarkan IUP dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi untuk kegiatan perkebunan sawit.
Pemda tahu persis (khusus Dinas Kehutanan/Dinas Perkebunan), haram hukumnya untuk menerbitkan IUP dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang masuk dalam wilayah kawasan lindung dalam tata ruang provinsi maupun tata ruang kabupaten.
Dalam PP No 24/2021, penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang telah memegang IUP tetapi belum memegang izin kehutanan diatur sebagai berikut:
Pertama, apabila izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan terbit terlebih dahulu dari perizinan di bidang kehutanan, menteri berwenang melakukan revisi luasan perizinan di bidang kehutanan.
Kedua, tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, dilakukan melalui tahapan pemberitahuan pemenuhan persyaratan perizinan di bidang kehutanan; pengajuan permohonan penyelesaian persyaratan perizinan di bidang kehutanan; verifikasi permohonan; penerbitan surat perintah tagihan pelunasan PSDH dan DR; pelunasan PSDH dan DR; dan penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan di dalam kawasan hutan produksi; atau persetujuaan melanjutkan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan konservasi.
Ketiga, khusus persetujuan melanjutkan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan konservasi, dilaksanakan dengan mekanisme kerja sama atau kemitraan dengan menteri.
Baca juga: Realisasi Pajak Karbon Nyaris Tak Terdengar
Keempat, persetujuan melanjutkan kegiatan usaha berlaku 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam.
Persetujuan melanjutkan kegiatan usaha memuat kewajiban untuk: melakukan kegiatan jangka benah dengan tanaman pokok kehutanan sesuai silvikultur di sela-sela tanaman sawit; tidak melakukan penanaman sawit baru (replanting); dan setelah habis 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam wajib mengembalikan areal usaha di dalam kawasan hutan kepada negara.
Dengan demikian, jelas sudah bahwa status kebun sawit dalam kawasan lindung (dalam hutan lindung maupun hutan konservasi) pada akhirnya harus dikembalikan kepada negara sebagai kawasan hutan sebagaimana status fungsi kawasan hutan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah secara hukum (de jure).
Ketentuan yang disebut di atas hanya berlaku selama 3 (tiga) tahun setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja ditetapkan.
Artinya, batas waktu pengajuan permohonan perizinan di bidang kehutanan untuk kebun sawit dalam kawasan lindung tersebut hanya berlaku sampai akhir 2023 saja.
Apabila sampai dengan akhir 2023 tidak mengajukan permohonan perizinan di bidang kehutanan, maka akan dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban pembayaran denda administratif.
Penetapan status tidak berlakunya perizinan berusaha (IUP) yang dimilikinya apabila batas waktu sanksi administratif terlampaui.
Apa bentuk pembayaran denda administratif itu?
Sanksi administratif berupa pembayaran denda administratif dihitung sebesar 10 (sepuluh) kali besaran PSDH dan DR.
Berdasarkan bukti pelunasan denda administratif, Menteri Kehutanan dapat menerbitkan kembali persetujuan pelepasan kawasan hutan di kawasan hutan produksi; atau persetujuan melanjutkan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan konservasi.
Bagi perusahaan/korporasi yang tidak melakukan pelunasan denda administratif sampai batas waktu yang telah ditentukan dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusaha (IUP).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya