KOMPAS.com - Restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove memiliki potensi ekonomi yang menjadi menjadi salah satu fokus investasi berkelanjutan dunia usaha.
Hak tersebut disampaikan Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan KLH Sigit Reliantoro dalam acara ESG Sustainable Forum 2025, Jumat (31/1/2025).
Sigit mengatakan, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan restorasi gambut seluas 4,1 juta hektare.
Baca juga: YKAN: Emisi CO2 Naik 38 Persen jika Lahan Gambut Dikonversi ke Sawit
Upaya restorasi tersebut berpotensi berhasil mengurangi emisi sekitar 302,9 juta ton karbon dioksida per tahun.
"Ini membuka peluang perdagangan karbon senilai Rp 48 triliun sampai Rp 184 triliun per tahun," kata Sigit, sebagaimana dilansir Antara.
Sigit berharap, pihak-pihak yang menerapkan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola atau environmental, social and governance (ESG) mulai melirik restorasi gambut.
ESG sendiri merupakan panduan praktik perusahaan untuk pengambilan keputusan dalam berbisnis dan berinvestasi.
Baca juga: Belantara Foundation Gandeng Jejakin Restorasi Lahan Gambut di Jambi melalui Agroforestri
Sigit menambahkan, terdapat juga potensi keikutsertaan dunia usaha dalam upaya rehabilitasi mangrove yang diperkirakan memerlukan pembiayaan 3.900 dollar AS per hektare.
Di saat bersamaan, nilai ekosistem tersebut akan meningkat sekitar 15.000 dolar AS per hektare per tahun dan 50.000 dolar AS per hektare jika dikombinasikan dengan silvofishery, sebuah sistem budaya ikan dengan mempertahan ekosistem mangrove.
Pemulihan pesisir juga diperkirakan menghasilkan 6.760 dollar AS per hektare, yang dihasilkan dari hasil sektor perikanan dan penyimpanan karbon di ekosistem tersebut.
Indonesia sendiri memiliki luasan mangrove sekitar 3 juta hektare dengan jenis tutupan yang beragam.
Baca juga: Greenpeace: Restorasi Lahan Gambut 10 Tahun Terakhir Tidak Memuaskan
"Yang bisa dimanfaatkan bagi bapak atau ibu sekalian untuk offset (penebusan karbon) dan perdagangan karbon," tutur Sigit.
Dia mengatakan hal itu sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai oleh Indonesia, dalam bentuk ekonomi hijau dan ekonomi biru.
Indonesia juga sudah memulai perdagangan karbon tidak hanya untuk tingkat domestik, tapi juga perdagangan internasional yang diluncurkan pada Januari 2025.
Baca juga: Pembasahan Lahan Gambut Signifikan Turunkan Karbon Dioksida
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya