JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim S Djojohadikusumo, soal kegagalan Just Energy Transition Partnership (JETP) menuai kontroversi.
Hashim menyatakan bahwa JETP gagal karena tidak ada dana yang cair untuk program transisi energi.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pernyataan Hashim tersebut keliru dan tidak berdasarkan data.
Pendanaan JETP yang disepakati untuk tujuan transisi energi adalah sebesar 20 miliar dolar AS dari bank, lembaga keuangan, serta International Partners Group (IPG). Namun, pendanaan JETP tidak diberikan berbentuk bantuan langsung tunai, melainkan dari berbagai skema masing-masing negara IPG. Itu mencakup hibah, bantuan teknis,ekuitas, pembiayaan melalui kerja sama bilateral maupun multilateral, serta pembiayaan komersial pada proyek.
"Berdasarkan informasi yang dimiliki IESR, hingga Desember 2024, negara pendonor dalam IPG telah mengucurkan hibah dan bantuan teknis sebesar 230 juta dolar AS untuk 44 program," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangan resmi, Selasa (4/2/2025).
Sementara itu, 1 miliar dolar AS telah dialokasikan untuk investasi ekuitas dan pinjaman pada delapan proyek yang telah disetujui.
Salah satu pembiayaan via JETP adalah proyek PLTP Ijen sebesar 126 juta dolar AS dari International Development Finance Corporation (DFC), lembaga pendanaan milik pemerintah AS. Lainnya, pendanaan sekitar 6 miliar dolar AS yang telah dialokasikan untuk 19 proyek.
Menurut Fabby, JETP juga mengeluarkan comprehensive investment policy plan (CIPP) untuk memerinci kebutuhan pendanaan pembangkit energi terbarukan, transmisi dan jaringan listrik, penyimpan energi, serra transisi berkeadilan. Pendanaannya mencapai 97 miliar dolar AS hingga 2030.
"Sebagian besar dari daftar proyek tersebut merupakan proyek yang ada di dalam daftar RUPTL PLN 2021-2030 dan proyek-proyek baru untuk mengakselerasi bauran energi terbarukan," jelas Fabby.
Baca juga: IESR Nilai Sertifikat REC PLN Tak Dorong Transisi Energi
Fabby menyatakan, kesepakatan JETP tidak bersandar pada pemerintah Amerika Serikat saja. Sebab, IPG terdiri dari banyak negara dan lembaga pendanaan internasional yang tetap berkomitmen mendanai transisi energi di Indonesia.
Fabby menilai seharusnya pemerintah menyelaraskan target JETP dengan target bauran energi terbarukan minimal 34 persen di 2030 dan puncak emisi 290 juta ton CO2 pada tahun yang sama.
Hal lain yang seharusnya dilakukan adalah melanjutkan Satgas Transisi Energi Nasional (TEN), mempercepat reformasi kebijakan terkait pengembangan EBT, serta memenisunkan dini PLTU Cirebon I.
“Transisi energi adalah prasyarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan seperti diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045," papar Fabby.
"Dan merupakan salah satu dari 13 transformasi super prioritas yang harus dilakukan pemerintah," tambah dia.
Sebelumnya, Hashim menyatakan bahwa dana 20 miliar dolar AS dari program JETP tidak menunjukkan kemajuan signifikan setelah berjalan dua tahun.
Menurutnya, dana hibah sebesar 5 miliar dolar AS juga tak kunjung dikucurkan hingga saat ini.
“Dua tahun berjalan, tidak satu dolar pun dikucurkan oleh pemerintah Amerika. Banyak omon-omon ternyata,” ucap Hashim, Jumat (31/1/2025).
Baca juga: Transisi Energi: 3 Rekomendasi untuk Hilirisasi Nikel Berkelanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya