Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mochammad Fahlevi
Dosen dan Peneliti

Dr. Mochammad Fahlevi adalah asisten profesor di Universitas Bina Nusantara dan pendiri Privietlab Research Center. Ia telah diakui sebagai salah satu dari 2 persen peneliti terbaik dunia dalam bidang manajemen bisnis oleh Stanford University dan Elsevier.

Transformasi ESG di Tengah Guncangan Geopolitik Global

Kompas.com - 03/02/2025, 20:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini, dunia keuangan dan bisnis sedang diguncang perdebatan panas soal Environmental, Social, and Governance (ESG). Dari awalnya dipuja sebagai kunci masa depan bisnis berkelanjutan, ESG kini seolah menjadi "musuh publik" bagi banyak pihak.

Salah satu indikasi terbesar datang dari CEO BlackRock, Larry Fink, yang dulu merupakan pendukung berat ESG, tetapi kini enggan menggunakan istilah tersebut lagi.

Bahkan, beberapa perusahaan besar di AS mulai menghapus ESG dari laporan dan strategi komunikasi mereka.

Apakah ini pertanda kematian ESG? Atau justru ESG sedang mengalami transformasi besar?

Ada beberapa fakta yang cukup mengejutkan tentang ESG belakangan ini. Survei Bloomberg Intelligence menemukan bahwa banyak investor global dan CEO masih menganggap ESG sangat penting, tapi mereka ragu bagaimana menerapkannya di tengah tekanan politik dan ekonomi.

Di Amerika Serikat, dua pertiga pemilih mengatakan mereka tidak ingin perusahaan mengambil sikap politik (Bloomberg Intelligence, 2023).

Bahkan, hampir 50 persen orang mengaku berhenti menggunakan produk perusahaan yang dianggap memiliki agenda politik tertentu (Financial Times, 2023).

Di sisi lain, ESG juga menghadapi kritik keras karena dinilai lebih fokus pada "branding" ketimbang aksi nyata.

Skandal greenwashing—di mana perusahaan berpura-pura ramah lingkungan demi citra—juga makin sering terungkap.

Contohnya, beberapa perusahaan Brasil yang digadang-gadang sebagai pemimpin ESG justru berusaha menghindari kewajiban mereka dalam program karbon Renovabio (Financial Times, 2024). Ironis, bukan?

Idealisme Vs realitas

Paula Kovarsky, seorang eksekutif senior di bidang keberlanjutan, berpendapat bahwa ekspektasi terhadap ESG terlalu tinggi.

Ketika dunia terguncang oleh pandemi, resesi, perang Ukraina, hingga konflik Timur Tengah, banyak perusahaan yang menyadari bahwa implementasi ESG tidak semudah membalik telapak tangan.

Biaya tinggi, regulasi ketat, dan ketidakpastian ekonomi membuat mereka mundur teratur. ESG, yang awalnya dianggap sebagai "sulap kapitalisme", kini justru dipertanyakan efektivitasnya.

Namun, seperti yang dikatakan oleh Michael Maslansky, masalah utama ESG bukan pada substansinya, melainkan pada cara penyampaiannya.

ESG terlalu sering dikaitkan dengan moralitas yang dipaksakan, sehingga banyak yang merasa teralienasi. Akibatnya, banyak perusahaan kini lebih suka berbicara soal "Responsible Business" daripada "ESG".

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau