Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti Temukan Padi yang Mampu Reduksi Metana Hingga 70 Persen

Kompas.com - 04/02/2025, 19:22 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Budidaya padi berkontribusi terhadap sekitar 12 persen emisi metana global. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat seiring pemanasan global dan terus bertambahnya populasi manusia.

Namun kini para ilmuwan dalam studi baru yang dipublikasikan di Molecular Plant menemukan cara untuk mengurangi emisi metana secara signifikan tanpa mengorbankan hasil panen.

Temuan ini pun memungkinkan peneliti untuk mengembangkan galur padi baru yang mengurangi emisi metana hingga 70 persen.

"Studi ini menunjukkan bahwa Anda dapat mengurangi metana dan tetap memiliki padi yang produktif," kata penulis senior Anna Schnürer, seorang ahli mikrobiologi di Universitas Ilmu Pertanian Swedia.

"Padi bisa didapatkan dengan menggunakan metode menanam tradisional, tanpa GMO," tambahnya dikutip dari Phys, Selasa (4/2/2025).

Baca juga:

Sumber Metana

Melansir The Debrief, tim menemukan bahwa senyawa kimia tertentu yang dilepaskan oleh akar padi, dikenal sebagai "eksudat akar," memainkan peran penting dalam produksi metana.

Dengan mengidentifikasi senyawa tersebut, para peneliti berhasil mengembangbiakkan galur padi baru yang mengeluarkan lebih sedikit metana sambil mempertahankan produktivitas padi.

Untuk mencapai kesimpulan tersebut, tim peneliti membandingkan eksudat akar dari dua varietas padi: SUSIBA2, galur hasil rekayasa genetika yang dikenal karena emisi metananya yang rendah, dan Nipponbare, varietas non-GMO (organisme hasil rekayasa genetika) dengan emisi rata-rata.

Mereka menemukan bahwa akar SUSIBA2 melepaskan fumarat yang jauh lebih sedikit. Fumarat merupakan senyawa yang tampaknya memberi makan mikroba penghasil metana.

Untuk mengonfirmasi peran fumarat, para peneliti menambahkannya ke tanah tanaman padi yang ditanam dalam wadah, yang menyebabkan peningkatan emisi metana.

Selain itu untuk menguji teori tersebut lebih lanjut, tim tersebut menerapkan zat kimia yang disebut oxantel atau penghambat yang menghalangi pemecahan fumarat dan melihat bahwa emisi metana menurun.

Namun fumarat bukanlah satu-satunya faktor yang berperan.

"Kami melihat bahwa tanah itu sendiri mengandung sesuatu yang mengurangi emisi metana, jadi kami mulai berpikir bahwa pasti ada semacam penghambat yang juga menyebabkan perbedaan antara varietas tersebut," kata Anna Schnürer, penulis senior penelitian dan ahli mikrobiologi di Universitas Ilmu Pertanian Swedia.

Setelah memeriksa ulang eksudat akar, tim menemukan bahwa tanaman SUSIBA2 juga melepaskan lebih banyak etanol.

Baca juga:

Menariknya, ketika etanol ditambahkan ke tanah, emisi metana menurun.

Penemuan ini mengungkap kombinasi tepat: mengurangi fumarat sambil meningkatkan etanol dapat secara dramatis menurunkan produksi metana.

Berbekal temuan ini, tim mulai membudidayakan varietas padi non-GMO baru yang mengeluarkan lebih sedikit metana.

Mereka menyilangkan varietas padi unggul dengan Heijing, galur yang dikenal karena emisi metananya yang rendah.

Tanaman padi yang dihasilkan secara konsisten menghasilkan eksudat akar dengan fumarat rendah dan etanol tinggi (LFHE), kombinasi yang unggul untuk mengurangi metana.

Uji coba lapangan di beberapa lokasi di China kemudian menunjukkan hasil yang menjanjikan. Padi LFHE mengeluarkan 70 persen lebih sedikit metana secara rata-rata dibandingkan dengan varietas induknya yang menghasilkan banyak metana.

Bahkan padi ini tidak mengorbankan produktivitas karena mampu menghasilkan 8,96 ton per hektar, hampir dua kali lipat dari rata-rata global saat ini sebesar 4,71 ton per hektar.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Unhas dan University of Hawai’i Bahas Kemiri Jadi Bahan Bakar Pesawat

Unhas dan University of Hawai’i Bahas Kemiri Jadi Bahan Bakar Pesawat

LSM/Figur
Perayaan Paskah di Inggris Hasilkan 8.000 Ton Sampah Kemasan Telur Cokelat

Perayaan Paskah di Inggris Hasilkan 8.000 Ton Sampah Kemasan Telur Cokelat

Pemerintah
MIND ID Siapkan 4 Proyek Prioritas yang Bisa Didanai Danantara

MIND ID Siapkan 4 Proyek Prioritas yang Bisa Didanai Danantara

BUMN
Nestle Manfaatkan Limbah Sekam Padi untuk Bahan Bakar di 3 Pabrik

Nestle Manfaatkan Limbah Sekam Padi untuk Bahan Bakar di 3 Pabrik

Swasta
Penetapan Taman Nasional di Pegunungan Meratus Dinilai Ciderai Kehidupan Masyarakat Adat

Penetapan Taman Nasional di Pegunungan Meratus Dinilai Ciderai Kehidupan Masyarakat Adat

LSM/Figur
Langkah Hijau Apple, Pangkas Emisi Gas Rumah Kaca Global Lebih dari 60 Persen

Langkah Hijau Apple, Pangkas Emisi Gas Rumah Kaca Global Lebih dari 60 Persen

Pemerintah
Pengesahan UU Masyarakat Adat Jadi Wujud Nyata Amanat Konstitusi

Pengesahan UU Masyarakat Adat Jadi Wujud Nyata Amanat Konstitusi

LSM/Figur
KLH Tempatkan Tim Khusus Tangani Sampah Laut di Bali

KLH Tempatkan Tim Khusus Tangani Sampah Laut di Bali

Pemerintah
75 Tahun Hubungan RI-China Jadi Momentum Perkuat Pembangunan Hijau

75 Tahun Hubungan RI-China Jadi Momentum Perkuat Pembangunan Hijau

LSM/Figur
Pemprov DKI Pasang 111 Alat Pemantau Kualitas Udara, Bisa Diakses Lewat JAKI

Pemprov DKI Pasang 111 Alat Pemantau Kualitas Udara, Bisa Diakses Lewat JAKI

Pemerintah
KG Media Hadirkan Lestari Awards sebagai Ajang Penghargaan ESG

KG Media Hadirkan Lestari Awards sebagai Ajang Penghargaan ESG

Swasta
Tren Investasi Properti Indonesia Mengarah ke Keberlanjutan

Tren Investasi Properti Indonesia Mengarah ke Keberlanjutan

Pemerintah
Ahli Yakin Harimau Jawa Tak Mungkin Masih Ada dengan Kondisi Saat Ini

Ahli Yakin Harimau Jawa Tak Mungkin Masih Ada dengan Kondisi Saat Ini

LSM/Figur
Gapki Antisipasi Kebakaran Lahan Sawit Jelang Musim Kemarau

Gapki Antisipasi Kebakaran Lahan Sawit Jelang Musim Kemarau

LSM/Figur
Menteri LH: Gangguan Lingkungan di Pulau Kecil Masif akibat Tambang

Menteri LH: Gangguan Lingkungan di Pulau Kecil Masif akibat Tambang

Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau