Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Menyoal Pencabutan 18 PBPH oleh Menhut, Prestasikah?

Kompas.com - 06/02/2025, 11:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam rentang 1982-1990, FAO juga mencatat angka deforestasi sebesar 1,5 juta hektare per tahun.

Di sisi lain, industri kehutanan- terutama kayu gergajian, kayu lapis dan pulp- semakin berkembang pascapemberlakuan larangan eksport kayu bulat.

Dalam situasi tersebut, dimulailah pengembangan hutan tanaman pada era 1990-an. Pembangunan hutan tanaman diarahkan sebagai revitalisasi kehutanan yang bermata ganda, yakni sebagai rehabilitasi kawasan hutan yang terdegradasi dan pemenuhan bahan baku industri kehutanan.

Awal pengembangan hutan tanaman dimulai dengan terbitnya PP No 7/1990 tentang hak pengelolaan hutan tanaman indistri (HTI).

Areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif.

Meskipun konsesi HTI hanya diberikan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif, tapi dalam praktiknya seringkali terjadi penerbitan HPHTI terjadi pada lahan hutan yang produktif.

Berdasarkan studi kelayakan perusahaan HTI pada tahun 1998, terdapat 22 persen lahan yang dikelola sebagai HTI merupakan hutan alam produktif. Di samping itu, lebih dari 2,7 juta hektare konsesi HPH telah dikonversi menjadi HTI.

Namun sayang, kegiatan HTI yang di era Reformasi berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT), nampaknya juga belum/tidak berkembang dengan baik karena kondisi ekonomi global yang tidak dalam keadaan baik-baik saja hingga saat ini.

Sampai tahun 2019, jumlah IUPHHK-HT mencapai 293 unit dengan luas areal 11,3 juta hektare.

Masalah akut PBPH

Pencabutan izin PBPH sebanyak 18 perusahaan/korporasi oleh Menhut sudah dapat diperkirakan sebelumnya bagi korporasi-perusahaan yang memperoleh izin pasca-Reformasi pada 2000’an, setelah berjalan lebih dari dua dasawarsa.

Bahkan, menurut prediksi dan perkiraan saya, jumlah korporasi/perusahaan yang dicabut izinnya semestinya lebih dari 18 perusahaan.

Kenapa demikian? Pada 2022, pemerintah Joko Widodo juga telah mencabut 144 izin kehutanan IUPHHK-HA (HPH) dan IUPHHK-HT(HTI).

Sebetulnya, keputusan pencabutan ini terlambat. Seharusnya sejak sebelum era Joko Widodo, pemerintah sudah mencabut izin-izin memanfaatkan hutan yang bermasalah.

Sejak 1998, industri kehutanan hancur, perusahaan kayu limbung. Dari 600-an HPH pada 195 yang mengelola 64 juta hektare, menurun separuhnya tinggal 304 unit pada 2010.

Tahun 2022, sekitar 201 perusahaan yang mengelola konsesi tak lebih dari 19 juta hektare.

Salah satu parameter surutnya era keemasan kayu alam adalah HPH yang tidak mampu melanjutkan operasi perusahaan setelah masa konsesi pertama selesai, yakni 20 tahun dari 35 tahun daur silvikultur hutan.

Banyak HPH yang hutan alamnya habis karena pembalakannya diijon—ditebang sebelum daurnya tiba. Akibatnya, secara teknis izin konsesi tidak bisa diperpanjang.

Atau produktivitas hutan alam setelah rotasi kedua menjadi sangat rendah, bahkan tidak ekonomis. Kondisi ini menyebabkan HPH gulung tikar, sebagian tidak aktif dan mati suri.

Sementara itu, hutan tanaman industri (HTI) yang diharapkan mampu mengambil peran HPH sebagai pemasok kayu untuk industri kehutanan juga didera beberapa masalah yang tidak kalah seriusnya.

Menurut Profesor Zufri Hamzah, Guru Besar Kehutanan IPB, usaha HTI membutuhkan dan mengambil banyak tempat dan ruang serta mudah rusak dan busuk (perishable), sementara harganya murah dibandingkan dengan barang substitusi lain. Akibatnya, secara ekonomi kurang menguntungkan.

Modal HTI juga lumayan besar. Apalagi jika ditambah dengan investasi pembuatan pabrik industri pengolah hutan tanaman seperti pabrik bubur kayu (pulp).

Dulu, untuk menarik minat investor, pemerintah memberikan insentif pinjaman dana reboisasi dengan bunga rendah.

Sayangnya, modal pinjaman dana reboisasi banyak yang diselewengkan hingga skema pinjaman ini dihentikan.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau