Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Menyoal Pencabutan 18 PBPH oleh Menhut, Prestasikah?

Kompas.com - 06/02/2025, 11:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dulu sempat ada ide jaminan asuransi bagi HTI untuk melindungi hasil-hasil hutan tanaman dari kebakaran dan kerusakan. Kenyataannya tak satu pun perusahaan asuransi mau menjamin usaha HTI karena waktunya yang panjang dan luasnya areal.

Kondisi ini diperarah oleh industri kehutanan Indonesia yang tidak sedang baik baik saja. Pada medio tahun 2020, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melaporkan bahwa kayu bulat segar kelompok meranti harganya jatuh dan tidak cukup untuk menutupi biaya produksi yang rata-rata di atas Rp 1,4 juta/m3.

Kayu bulat kelompok meranti ini lebih dari 70 persennya untuk suplai bahan baku industri kayu lapis (plywood) yang kontinyuitas pasokan kayu bulat fresh cut-nya tidak terjamin. Sisanya 30 persen untuk industri kayu gergajian, industri kayu serpih, dan lain-lain.

Produk industri pengolahan kayu seperti kayu lapis harga jualnya juga rendah. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) menyatakan bahwa untuk kayu lapis umum (general plywood) yang berbahan baku kayu bulat dari hutan alam harganya berkisar antara 500-550 dollar AS per m3. Sedangkan dari hutan tanaman antara 250-400 dollar AS per m3.

Padahal untuk 1 m3 kayu lapis memerlukan bahan baku sekitar 2 m3 kayu bulat hutan alam. Produktivitas tenaga kerja hanya 4 atau 5 m3 per orang/bulan (upah rata-rata sekitar 80 dollar per m3).

Jika ditambah biaya lem, upah minimum tenaga kerja yang terus meningkat dan tidak diikuti dengan peningkatan produktivitasnya, produktivitas mesin-mesin juga rendah karena sudah tua (umur mesin sudah lebih dari 30 tahun), maka perusahaan makin tidak mampu menutupi biaya usaha.

Pada akhirnya tidak cukup untuk menutupi harga pokok produksi (HPP), di mana HPP industri kayu lapis berkisar 600-650 dollar AS per m3.

Artinya, industri kayu lapis malah merugi karena biaya produksi lebih besar daripada harga jual.

Kondisi ini sudah berlangsung selama lebih dari dua tahun belakangan. Konsekuensinya, banyak di antara pabrik kayu lapis, kayu gergajian, dan industri perkayuan lainnya kolaps atau hanya beroperasi on and off.

Sekalipun kapasitas produksi tidak turun, tetapi harga jual tidak menutupi HPP-nya atau impas saja. Industriawan kayu lapis hanya bisa mengeluh. Hal ini hanya bisa untuk bertahan saja supaya tidak rugi lebih besar. Banyak industri perkayuan terancam kolaps.

Dari sisi pemasukan (devisa negara) dari sektor kehutanannya pun tak kalah pelik masalahnya. Di era keemasan sektor kehutanan, devisa negara dari sektor kehutanan mencapai Rp 16 triliun setiap tahunnya.

Sekarang, pemasukan negara dari sektor kehutanan tak lebih dari Rp 5 triliun setiap tahun melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Padahal PNBP Indonesia sekarang sudah mencapai hampir Rp 350 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku tak habis pikir bagaimana Indonesia yang memiliki hutan sangat luas, tapi sumbangan ke keuangan negara sangat kecil.

Sektor kehutanan secara keseluruhan, hanya memberikan setoran dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sangat kecil.

Lebih jauh, Menteri Keuangan menjelaskan bahwa setoran PNBP dari hutan ini kurang masuk akal apabila dibandingkan dengan luas hutan Indonesia yang menguasai daratan Indonesia seluas 120,5 juta hektare.

Kegundahan Sri Mulyani masuk akal. Sektor yang tadinya mampu memberikan pemasukan negara sebesar 16 miliar dollar AS per tahun di era Orde Baru dan menyumbang devisa kedua sesudah Migas, sekarang turun drastis menjadi 375 juta dollar AS per tahun saja.

Menteri Keuangan memprediksi bahwa sebenarnya dominasi PNBP dari basis kayu masih sangat tinggi. Namun PNBP sektor kehutanan sangat kecil karena kurangnya pengawasan, penegakan hukum yang lemah dan kurang komprehensif dan optimalisasi potensi termasuk aset yang dinilai masih menganggur.

Benarkah sinyalemen yang dikemukaan oleh Menteri Keuangan tersebut?

Salah satu isu, aset yang dinilai masih idle memang ada benarnya. Hutan produksi yang memang disiapkan untuk memproduksi hasil hutan kayu, baik dari hutan alam/tanaman maupun hasil hutan nonkayu, 50 persennya belum dimanfaatkan secara keseluruhan sebagai aset ekonomi yang mampu menghasilkan pemasukkan negara.

Jadi kesimpulannya, pencabutan 18 perusahaan/korporasi PBPH oleh Menhut Raja Juli bukan prestasi, tetapi merupakan kesalahan Kementerian Kehutanan masa lalu yang lalai membina dan mengawasi perusahaan izin PBPH yang mampu mengelola kawasan hutannya sampai akhir masa daur keduanya (35 tahun).

Pemerintah (Kemhut) hanya berfokus pada besarnya jumlah pungutan PNBP (DR dan PSDH) yang harus dibayar oleh perusahaan setiap tahun. Ternyata jumlahnya juga tidak besar menurut Menteri Keuangan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau