Dalam risetnya, Groffen menunjukkan bahwa 75 persen sedotan plastik yang beredar masih mengandung PFAS. Sementara, riset Tishima menunjukkan bahwa 5 merek dari sedotan plastik yang dikumpulkan mengandung senyawa itu.
Jadi, menurut riset itu, kembali ke plastik tidak membebaskan kita dari PFAS. Plus, kita juga mengotori lingkungan dengan sampah plastik yang dihasilkan. Adanya ekonomi sirkuler tidak membebaskan kita dari tanggung jawab itu.
Karenanya, meski kebijakan Trump melarang penggunaan sedotan plastik dalam pengadaan punya alasan ilmiah jelas, ungkapannya "back to plastic" tidak punya landasan jelas dan tidak selayaknya diikuti.
Lantas bagaimana?
Groffen dalam makalahnya mengungkapkan, dari beragam macam sedotan yang beredar, bahan stainless steel adalah yang bebas PFAS. Selain itu, sedotan bahan itu juga bisa dipakai berulang-ulang.
Karenanya, dia menyarankan, jika menggunakan sedotan, yang berbahan stainless steel adalah yang paling ramah lingkungan. Namun, jika bisa, dia menyarankan agar tak pakai sedotan sama sekali.
Baca juga: Kebijakan dan Tujuan Lingkungan Ihwal Sampah Plastik Belum Selaras
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya