JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Politeknik Ahli Usaha Perikanan (AUP), Ani Laelani, menilai transisi energi baru terbarukan (EBT) penting bagi sektor perikanan dan kelautan di Indonesia.
Menurutnya, sektor tersebut sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Namun, perikanan dan kelautan juga berdampak terhadap lingkungan.
"Oleh karena itu, transisi energi terbarukan pada sektor perikanan dan kelautan merupakan langkah yang sangat strategis dalam upaya untuk mengurangi dampak lingkungan hidup dan meningkatkan keberlanjutan sektor perikanan dan kelautan," ujar Ani dalam keterangan tertulis, Kamis (13/2/2025).
Baca juga: RPP KEN Disetujui, EBT Bakal Digenjot hingga 70 Persen pada 2040
Sementara itu, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, mengungkapkan tantangan kedua sektor itu tidak hanya pengelolaan sumber daya alam, tetapi mencakup pembangunannya.
Ini untuk menciptakan nilai tambah dari sumber daya melalui hilirisasi di sektor perikanan kelautan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
“Tidak hanya teknologi dan inovasi yang berdaya guna bagi masyarakat, akan tetapi bagaimana teknologi dapat menciptakan nilai tambah dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat," jelas Dani.
Dia berpandangan, konsumen internasional memiliki kesadaran tinggi terhadap produk yang menggunakan sumber energi terbarukan atau yang dikelola dan diproses secara berkelanjutan.
Artinya, penting bagi pelaku di sektor kelautan dan perikanan mengadopsi dan beradaptasi dengan teknologi EBT.
Baca juga: Pemerintah Baru Gunakan EBT 15 GW untuk Listrik, Sisanya Didominasi Energi Fosil
“Sektor perikanan khususnya, harus didorong lebih cepat melakukan transisi energi dan adopsi energi yang lebih bersih. Sumber-sumber energi terbarukan harus menjadi sandaran bagi masa depan sektor ini. Kami ingin pengelolaan sektor kelautan dan perikanan lebih berkelanjutan dan mensejahterakan," ucap Dani.
Kepala Pusat Pendidikan Kelautan Perikanan, Alan Frendy, menjelaskan perubahan iklim berdampak pada usaha perikanan skala kecil. Dia pun menyoroti kenaikan maksimal suhu global 1,5 derajat celsius yang sulit dicapai lantaran emisi karbon dioksida (CO2) yang makin melonjak.
“Yang paling rentan untuk perikanan skala kecil, khususnya penangkapan ikan terkait dengan perubahan iklim ada beberapa hal yang akan terjadi," terang Alan.
"Pertama, adalah pergeseran distribusi ikan dan pola imigrasi, kemudian cara-cara perikanan tradisional tidak bisa dipertahankan karena banyak perubahan," tambah dia.
Dampak krisis iklim lainnya ialah banjir, penyakit pada udang atau ikan, parasit, serta lonjakan pertumbuhan alga beracun.
Baca juga: Ekonom: Investor Bakal Buru Saham Perdana Perusahaan EBT
“Dampak panjangnya, kita akan semakin kesulitan mencari benih-benih alami. Serta adanya kenaikan temperatur, curah hujan, keasaman laut," imbuh dia.
Di samping itu, Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) melalui Badan Penyuluh dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPPSDM), telah mendorong peningkatan SDM melalui program beasiswa kepada anak-anak pelaku usaha sektor perikanan kelautan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya