JAKARTA, KOMPAS.com - Memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2025, Kompas.com menggelar diskusi bersama ahli dan pegiat lingkungan bertajuk "Mitos Vs Fakta: Benarkah Semua Plastik adalah Sampah?" pada Jumat (21/2/2025).
Pemimpin Redaksi Kompas.com, Amir Sodikin, mengungkapkan bahwa acara tersebut digelar lantaran pihaknya berfokus pada isu pelestarian lingkungan.
"Karena kami punya concern di isu lestari, sustainability, kami gelar acara ini dengan mengundang beberapa pihak yang concern, plus narasumber yang memang kompeten di bidang sampah," ujar Amir saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat.
Amir menyebut, kebanyakan orang menganggap bahwa plastik hanya akan berakhir menjadi sampah. Alhasil, mereka justru tidak memiliki sensitivitas mengelola sampah dari rumah.
"Padahal sampah plastik bernilai ekonomi, yang nilai ekonominya tinggi itu PET (Polyethylene Terephthalat), kedua HDPE (High Density Polyethylene). PET ini sampah plastik yang digunakan oleh industri makanan dan minuman terutama. Sampah-sampah PET karena punya nilai ekonomi bisa cepat masuk ke putaran ekonomi," ungkap dia.
Dalam riset yang dilakukan Net Zero Waste Management Consortium, ungkap Amir, kemasan plastik yang tampaknya ramah lingkungan justru berpotensi menambah tumpukan sampah. Terutama jika kemasannya sulit didaur ulang.
Baca juga: Hanya 9 Persen Plastik di Dunia yang Berhasil Didaur Ulang
Gelas kertas, misalnya, yang digadang-gadang bisa menggantikan gelas plastik sekali pakai untuk menekan limbah. Gelas kertas ini justru sulit didaur ulang, bahkan menjadi sampah yang tidak memiliki nilai jual.
"Risetnya juga memberikan gambaran ternyata kemasan-kemasan kecil, cup kecil karena tidak terlihat atau sulit dilihat menjadi no value kalaupun ada nilainya low value. Akhirnya menjadi sampah yang sampai ke sungai bahkan ke laut," papar Amir.
Peneliti lain dari PT Kita Bumi Global, Hadiyan Fariz Azhar, menyatakan bahwa produsen dan industri seharusnya lebih memperhatikan desain produknya agar mudah dikelola dan didaur ulang. Penelitiannya menyoroti urgensi penggunaan kemasan plastik yang tidak terlalu berwarna lantaran akan sulit didaur ulang.
"Fariz tadi menggarisbawahi sebenarnya produsen sampo mau menggnuakan lagi hasil daur ulang itu, tetapi dia request yang clear. Padahal dia (produsen) sendiri yang mewarnai. Jadi enggak ada konsistensi dari produsen, industri yang menggunakan plastik-plastik itu," tutur Amir.
Para narasumber merekomendasikan untuk berhenti ataupun mengurangi penggunaan kemasan berbahan plastik kecil seperti saset karena memiliki nilai jual rendah bahkan tidak memiliki nilai sama sekali di mata pemulung. Kemudian, fokus pada desain ulang produk yang dapat didaur ulang untuk menaikkan nilai ekonominya.
"Ketiga, akar persoalan itu bukan pada kita harus memungut sampah dari tempat sampah melainkan waste management, pengelolaan sampahnya itu yang harus digeber," ucap Amir.
"Jangan sampai kita cuma mengurusin hilirnya. Waste management sejak awal, pemilahannya harus sehingga nantinya lebih mudah untuk dikelola dan digunakan," imbuh dia.
Baca juga: Tak Semua Plastik Jadi Sampah, Format dan Sistem Daur Ulang Penentunya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya