Keuntungan lain dari daur ulang ini juga dapat dirasakan bagi negara yang tidak memiliki tambang biji besi seperti Bangladesh.
Mereka memperoleh sebagian besar bahan baku pembuatan baja dari kapal-kapal tua yang terkadang dikenal sebagai tambang terapung.
Namun manfaat itu harus diimbangi oleh risiko yang tersembunyi di kapal tua.
Asbes dan bahan kimia organik dapat menimbulkan bahaya kesehatan serius bagi pekerja.
Belum lagi logam berat, residu minyak, dan limbah lumpur dari kapal yang dibongkar juga dapat meresep ke lingkungan dan menyebabkan polusi.
Industri ini pun telah berupaya meningkatkan standar keselamatan dan perlindungan lingkungan.
Salah satu bagian utama hukum internasional yang berupaya mengendalikan risiko ini adalah konvensi Basel 1989 yang melarang pemindahan limbah berbahaya yang umumnya ditemukan di kapal tua dari negara-negara kaya ke negara-negara berkembang.
Perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya akan segera mengharuskan limbah berbahaya untuk didaftarkan sebelum kapal dikirim ke negara daur ulang.
Sementara pendaur ulang kapal akan memerlukan persetujuan resmi untuk rencana pembongkaran sebelum kapal dihancurkan.
Baca juga: Akibat Krisis Iklim, Risiko Tabrakan Hiu Paus dengan Kapal Semakin Tinggi
Namun, aktivis hak asasi manusia dan lingkungan menyerukan agar negara-negara yang mendaur ulang kapal mengadopsi perubahan yang lebih radikal.
Mereka menginginkan penghentian bertahap metode daur ulang dengan menepi di pantai, dan mendesak pemilik kapal dari belahan bumi utara untuk mendukung pemilik galangan kapal dan pekerja dengan lebih banyak dana dan dukungan teknis.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya