KOMPAS.com - Studi terbaru dalam jurnal Nature Climate Change, memprediksi bahwa tabrakan antara hiu paus dengan kapal bisa meningkat hingga 15.000 kali lipat pada tahun 2100.
Para ilmuwan dari University of Southampton dan Marine Biological Association di Inggris memperkirakan bahwa lautan yang lebih hangat akan memaksa hiu paus mencari habitat baru, yang berpotensi membawa mereka ke jalur sibuk lalu lintas kapal.
Dalam penelitian itu, bukti terbaru menunjukkan bahwa hiu paus sangat rentan tertabrak kapal besar, sehingga berpotensi terluka atau tewas.
Baca juga: Pakar Kelautan Definisikan Ulang Konsep Penangkapan Ikan Berkelanjutan
Pasalnya, mereka sering berada di perairan dangkal dan berkumpul di wilayah pesisir. Hiu paus juga sangat aktif bergerak dan peka terhadap perubahan suhu.
"Kami menemukan bahwa habitat laut yang disukai oleh hiu paus akan bergeser di masa depan, kadang-kadang ke lokasi baru yang sama sekali berbeda, sering kali ke perairan yang lebih dingin," ujar peneliti utama, Dr. Freya Womersley.
Jika hiu-hiu tersebut pindah ke wilayah yang baru bisa dihuni, kata dia, mungkin mereka bisa sedikit terhindar dari dampak perubahan iklim.
"Namun, mereka juga bisa terkena risiko seperti tertangkap secara tidak sengaja dalam penangkapan ikan, ketidakcocokan mangsa, serta tabrakan dengan kapal," tambahnya.
Dikutip dari Euronews, Minggu (13/10/2024), hiu paus merupakan jenis ikan terbesar di dunia, dengan ukuran terbesar yang pernah tercatat mencapai 18,8 meter.
Baca juga: Limbah Industri Sebabkan Kematian 20 Ton Ikan di Sungai Brasil
Spesies yang terancam punah ini biasanya hidup di perairan tropis dan jarang berada di lautan dengan suhu di bawah 21°C.
Studi ini menggabungkan data pelacakan satelit hiu paus dengan model iklim global, untuk memprediksi distribusi masa depan hiu paus dengan tiga skenario iklim yang berbeda.
Peta distribusi tersebut kemudian dibandingkan dengan kepadatan lalu lintas kapal untuk melihat apakah hiu paus akan berpindah ke area yang padat kapal, yang meningkatkan risiko tabrakan.
Dalam skenario emisi tinggi (jika dunia masih bergantung pada bahan bakar fosil), studi ini memprediksi hilangnya lebih dari 50 persen habitat inti di beberapa perairan nasional pada tahun 2100, dengan potensi kerugian terbesar di Asia.
Baca juga: Ikan Pari Jawa Dinyatakan Punah, Aktivitas Manusia Jadi Penyebabnya
Mengingat ancaman tersebut, Dr. Womersley menegaskan pentingnya upaya pemerintah dan dunia untuk meningkatkan perlindungan terhadap ekosistem hewan laut.
“Dengan mengurangi perubahan iklim, kita bisa memastikan laut menjadi tempat yang lebih aman bagi beberapa penghuni terbesarnya," ujar dia.
Saat ini, Dr. Womersley menjelaskan, strategi yang bisa dicoba untuk membatasi tabrakan antara kapal dan hiu, antara lain dengan memperlambat kecepatan kapal dan mengalihkan jalur di sekitar situs kunci hewan laut tersebut.
"Sekarang terserah kepada pemerintah untuk mengambil tindakan,” tambahnya.
Dr. Womersley juga merekomendasikan agar pemerintah dan pengelola kelautan mengintegrasikan prediksi ancaman iklim kuantitatif seperti studi ini ke dalam upaya konservasi masa depan.
"Dengan cara ini, perlindungan akan lebih adaptif dan tahan terhadap berbagai skenario perubahan iklim," pungkas dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya