Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepala Daerah Didesak Bereskan 5 Masalah terkait Krisis Iklim di Jabodetabek

Kompas.com, 24 Februari 2025, 20:12 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Greenpeace Indonesia mendesak kepala daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) yang baru dilantik untuk menyelesaikan lima permasalahan terkait krisis iklim dan lingkungan.

Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, mengungkapkan persoalan itu mencakup polusi udara, banjir, kekeringan, minimnya ruang terbuka hijau (RTH), kenaikan permukaan air laut, serta perluasan pulau panas perkotaan.

"Kelima masalah ini memberikan dampak signifikan bagi kenyamanan dan keamanan hidup warga, serta dampak buruk bagi perekonomian daerah,” kata Jeanny dalam keterangan tertulis, Senin (24/2/2025).

Baca juga: Cegah Banjir di Jaksel, Waduk Lebak Bulus dan Kali Grogol Dikeruk

Dia mencatat, polusi udara masih menjadi permasalahan utama di Jabodetabek sepanjang 2024. Di awal tahun ini kualitas udara juga terpantau masuk kategori tidak sehat. Menurut Jeanny, sumber polutan berasal dari PLTU batu bara.

Polusi udara disebut mengakibatkan 2.500 kematian prematur, dan kerugian sebesar Rp 5,1 triliun per tahun di wilayah Jabodetabek.

Minimnya RTH turut berkontibusi pada kirisis iklim. Tercatat, RTH di Jakarta hanya 5,2 persen dari total wilayah kota sedangkan Tangerang Selatan memiliki 8,5 persen RTH. Jeanny menilai, luasan RTH di kedua kota tersebut masih jauh dari standar idealnya yakni sebesar 30 persen.

“Tanaman pada RTH dapat membantu penyerapan karbon dioksida yang menjadi salah satu pemicu polusi udara, dan fungsi lahan terbuka hijau dapat meningkatkan wilayah resapan air yang akan sangat membantu pada musim penghujan dan musim kemarau,” papar Jeanny.

Di sisi lain, pembangunan dan konversi lahan vegetasi menjadi properti yang tidak terencana dan tidak sesuai dengan daya dukung kota memperluas lahan gersang sehingga meningkatkan suhu di wilayah perkotaan.

Kondisi itu meluas ke Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi yang membuat suhu kawasan perkotaan 3-6 derajat celsius lebih tinggi dibanding kawasan perdesaan. 

Baca juga: Kasus Kanker Paru Meningkat pada Non-perokok, Diduga Akibat Polusi Udara

Banjir dan Kekeringan

Cuaca ekstrem akibat krisis iklim menyebabkan wilayah Jabodetabek mengalami banjir saat curah hujan tinggi, dan kekeringan di musim kemarau panjang.

Jeanny menyampaikan, banjir yang melanda Jakarta setiap tahun melumpuhkan perekonomian serta mengakibatkan kerugian Rp 2,1 triliun per tahun.

Greenpeace melaporkan, kekeringan saat musim kemarau panjang menyebabkan petani di Bekasi merugi hingga puluhan jutaan rupiah.

Hal ini menunjukan kerentanan kelompok masyarakat menengah ke bawah di Jabodetabek yang harus mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi kebutuhan dasar, salah satunya air bersih.  

Sebagai wilayah yang sebagian besar berada di pesisir, Jabodetabek pun rentan terhadap kenaikan permukaan air laut yang mengakibatkan banjir rop maupun abrasi.

Selain itu, penurunan tanah di Jakarta terjadi setiap tahunnya dengan rata-rata t sentimeter per tahun. Wilayah utara Jakarta bahkan menurun 7,44-8,47 cm per tahun.

Baca juga: UNICEF: 100 Kematian Anak per Hari di Asia Timur Terkait Polusi Udara

Kenaikan permukaan laut juga terus mengikis bibir pantai dan menyebabkan abrasi di pinggiran pulau dengan luas lebih dari 42 hektar di Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

Jika terus terjadi, Pulau Pari beserta permukiman warga diperkirakan akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. 

"Masyarakat miskin, kelompok menengah dan kelompok rentan di wilayah ini jadi kelompok yang akan merasakan dampak paling parah, karena keterbatasan kemampuan mereka untuk beradaptasi dan memitigasi krisis iklim," papar Jeanny.

"Kepala daerah memiliki peran sentral dalam mengatasi masalah ini demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui ketahanan dan keadilan iklim di perkotaan,” tambah dia.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau