KOMPAS.com - Sahur pakai nasi, buka pakai nasi. "Nasinya yang banyak, biar kenyang sampai buka," begitu mungkin sering diucapkan.
Tapi, kita semua perlu tahu. Nasi yang kita bilang selalu paling mengenyangkan dibanding sumber karbohidrat lain punya ongkos lingkungan dalam pertaniannya.
Bank Dunia pada tahun 2022 merilis laporan bahwa pertanian beras berkontribusi pada 10-13 persen emisi metana, gas yang memerangkap panas 25 lipat dibanding karbon dioksida.
Selain itu, sekitar 40 persen dari sumber air global berkaitan dengan praktik pertanian padi atau beras.
Pertanian beras juga terkait dengan kehancuran biodiversitas. Bukti nyatanya, pembukaan hutan sejuta hektar pada tahun 1990-an di Kalimantan Tengah yang mengancam ragam satwa.
Di tengah tantangan lingkungan yang makin besar, puasa Ramadhan 2025 bisa menjadi momen untuk memulai gerakan, misalnya puasa nasi untuk keberlanjutan pangan.
Agar ongkos lingkungan dari pertanian beras bisa diperkecil, salah satu cara yang bisa lakukan adalah membuat sumber karbohidrat kita beragam.
Doket dan pakar gizi masyarakat, Tan Yot Sen, sangat mungkin bagi kita memanfaatkan momen puasa untuk membiasakan diri dengan karbohidrat lain.
Baca juga: Peran Filantropi Bangun Ketahanan Pangan dari Desa
"Kenapa tidak?" kata Tan. "Banyak budaya asli kita kan sebenarnya tidak makan nasi. Suku-suku di NTB, Maluku, Papua, merek sebenarnya tidak makan nasi."
Guru besar pangan dan gizi IPB University, Ali Khomsan, mengatakan, momen puasa sendiri menunjukkan diversifikasi pangan.
"Ini tercermin dari ragam pangan yang tersedia saat bulan puasa terutama," ungkapnya ketika dihubungi Kompas.com, Sabtu (1/3/2025).
Jika mampu sebulan penuh mencoba tidak makan nasi, itu baik. Namun jika tidak, inisiatif kecil bisa dilakukan.
'Dalam seminggu, kita bisa mengganti beras dua kali dan nantinya bisa dipraktekkan di luar bulan Ramadhan," ujarnya.
Langkah kecil itu, jika dilakukan banyak orang, bisa memperbesar tekanan pada beras sehingga permintaan dan dampak lingkungannya menurun.
Ali Khomsan, jenis karbohidrat lain sebenarnya juga mampu menyediakan nutrisi seperti nasi.
"Yang paling mirip ya jagung. Tapi kita ada singkong, ubi jalar, talas, kentang yang bisa dimanfaatkan<' urainya.
Keluhan kita tak kenyang karena makan nasi bisa diatasi dengan memakan lebih banyak makanan berserat. Sayur dan daging, misalnya.
Tan mengungkapkan, tak mau makan selain nasi karena tak kenyang itu adalah "soal mindset yang bersangkutan mau berubah atau tidak."
Tan mengatakan, "Orang hanya mau berubah jika apa yang akan diraih lebih besar daripada apa yang dikorbankan."
Nah, saatnya berpikir bahwa keberlanjutan lingkungan adalah sesuatu yang lebih besar daripada sekadar rasa kenyang.
Baca juga: Cuaca Ekstrem 2025 Bisa Picu Gejolak Harga Pangan, Kopi Salah Satunya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya