Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030

Kompas.com, 17 Desember 2025, 19:01 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber Reuters

KOMPAS.com - Permintaan batu bara global mencapai rekor tertinggi pada tahun 2025 tetapi diperkirakan akan menurun pada tahun 2030.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA) ini terjadi karena energi terbarukan, tenaga nuklir, dan gas alam yang melimpah mengurangi dominasi baru baru dalam pembangkit listrik.

Mengurangi ketergantungan dunia pada batu bara dianggap penting untuk mencapai target iklim global. Di sisi lain bahan bakar fosil tetap menjadi bahan bakar terbesar untuk menghasilkan listrik.

Melansir Reuters, Rabu (17/12/2025) permintaan batu bara diperkirakan akan meningkat 0,5 persen pada tahun 2025 menjadi rekor 8,85 miliar metrik ton, menurut laporan Batubara 2025 IEA.

Baca juga: 4 Penambang Batu Bara Ilegal di Teluk Adang Kalimantan Ditangkap, Alat Berat Disita

"Ke depan, kami mengamati bahwa permintaan batu bara global akan mencapai titik stabil dan akan mulai menurun secara perlahan dan bertahap hingga akhir dekade ini," kata Keisuke Sadamori, direktur Pasar dan Keamanan Energi IEA, dalam sebuah konferensi pers.

Prediksi peningkatan permintaan batu bara ini sebenarnya sedikit berubah dari hitungan tahun lalu karena terdapat tren yang berbeda pada 2025.

Pasalnya, terjadi penurunan konsumsi batu baru di India. Sebagai informasi, negara ini merupakan salah satu konsumen batu bara terbesar di dunia yang biasanya permintaannya selalu naik.

Itu merupakan kejadian yang sangat jarang, hanya terjadi 3 kali dalam 50 tahun terakhir.

Penyebab penurunan batu bara ini disebabkan karena musim hujan yang sangat hebat di India, yang meningkatkan tenaga hidro (PLTA) dan menekan permintaan listrik.

Sementara permintaan di China yang merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia, sebagian besar tidak berubah tahun ini dan diperkirakan akan turun sedikit pada 2030 seiring dengan meningkatnya kapasitas energi terbarukan.

Baca juga: SCG Genjot Semen Rendah Karbon, Kurangi Batu Bara, Pakai Sampah untuk Energi

Namun prediksi penurunan batu bara di China itu bisa saja meleset jika pertumbuhan permintaan listrik yang lebih cepat atau integrasi energi terbarukan yang lebih lambat terjadi China, yang justru bisa mendorong permintaan global melampaui prediksi.

"China mengonsumsi 30 persen lebih banyak batu bara daripada seluruh dunia jika digabungkan, adalah pendorong utama tren batu bara global," kata Sadamori.

Di sisi lain, di Amerika Serikat, konsumsi batu bara meningkat karena harga gas yang lebih tinggi dan setelah Presiden Donald Trump tahun ini menandatangani perintah eksekutif untuk menyelamatkan pembangkit listrik tenaga batu bara yang kemungkinan besar akan dipensiunkan untuk mendorong produksi batu bara.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
CIMB Niaga Salurkan 'Green Financing' Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
CIMB Niaga Salurkan "Green Financing" Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
Swasta
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau