JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia punya target untuk menurunkan biaya logistik nasional menjadi 8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2045.
Target itu cukup ambisius mengingat bahwa saat ini, biaya logistik Indonesia masih berada di kisaran 16 persen dari PDB. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan negara-negara maju yang rerata hanya sekitar 8-10 persen.
Target penurunan biaya logistik itu diharapkan dapat mendorong daya saing Indonesia di pasar global, menekan harga barang, dan memperlancar distribusi produk dari pusat produksi ke konsumen.
Namun, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah membuat pembangunan infrastruktur baru menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal pendanaan.
Sebab, anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk 2025 dipangkas sebesar Rp 81,38 triliun dari pagu awal anggaran senilai Rp 110,95 triliun. Pemangkasan sebesar itu berdampak pada penundaan 21 proyek infrastruktur.
Baca juga: Bos META: Efisiensi Anggaran Boleh, Asal Pemerintah Berikan Dukungan Ini untuk Sektor Infrastruktur
Salah satu solusi yang ditawarkan agar pembangunan infrastruktur tetap berjalan adalah melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Melalui skema ini, sektor swasta diharapkan dapat mengambil peran lebih besar dalam membiayai dan mengelola proyek infrastruktur.
KPBU merupakan skema pembiayaan di mana pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta untuk pembangunan infrastruktur publik. Dalam skema ini, pihak swasta dapat berperan dalam pembiayaan, pembangunan, hingga pengelolaan infrastruktur dengan skema pengembalian investasi yang ditetapkan dalam perjanjian.
Namun, agar skema tersebut menarik di mata investor, terutama asing, pemerintah perlu menerapkan fleksibilitas dalam regulasinya.
Hal tersebut diungkapkan oleh Presiden Direktur PT Nusantara Infrastructure Tbk (kode emiten: META) M Ramdani Basri dalam wawancara eksklusif dengan Kompas.com di Jakarta, Kamis (27/2/2025).
Menurut Ramdani, pola kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam proyek infrastruktur harus lebih terbuka dan saling mendukung. Pasalnya, tanpa dukungan dari swasta, target-target pembangunan yang sudah ditetapkan pemerintah bakal sulit dicapai.
"Pemerintah seharusnya tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator yang menciptakan iklim investasi yang kondusif," ujar Ramdani.
Ramdani menjelaskan, dengan skema kerja sama saat ini, pemerintah mematok waktu konsesi selama 50 tahun hingga swasta mengembalikan aset yang dikelola kepada pemerintah.
Melihat kondisi tersebut, Ramdani menyarankan pemerintah untuk lebih fleksibel terhadap swasta terkait skema kerja sama, terutama dalam hal insentif, kenaikan tarif, dan waktu konsesi.
Baca juga: 10 Bendungan Masuk Prioritas KPBU Pembangkit Listrik Tenaga Air
"Pembangunan infrastruktur membutuhkan modal besar di awal, sementara keuntungan baru bisa dirasakan dalam jangka panjang. Fleksibilitas dalam regulasi tarif dan perpanjangan konsesi akan membantu menjaga keberlanjutan proyek," tambahnya.
Ramdani mengakui bahwa birokrasi dan kepastian hukum masih menjadi tantangan dalam kemitraan swasta dengan pemerintah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya